Orang-Orang Indonesia di Belanda (9): Pecahnya Gerakan Mahasiswa di Belanda

Kekangan dari Belanda membut persatuan mahasiswa Indonesia menjadi makin erat. Namun sebagai kelompok yang memisahkan diri pandangan mereka menjadi makin tertutup hingga mengilhami lahirnya perserikatan Nederlandsch-Indisch Verbond van Jongeren Organisaties (NIVIO). Mahasiswa Indonesia yang termasuk golongan "mayoritas diam" bergabung dengan NIVIO. Pecahnya gerakan mahasiswa Indonesia di Belanda tersebut juga diungkap oleh Harry A. Poeze (Sejarawan dari Universitas Leiden) dalam buku yang diterbitkan Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).

Ali Sastroamidjojo


Nederlandsch-Indisch Verbond van Jongeren Organisaties (NIVIO) pernah mengklaim bahwa 55% mahasiswa di Leiden menjadi anggotanya. Noto Soeroto sebagai tokoh NIVIO merasa yakin bahwa hubungan  antara negara Belanda dan Indonesia, akan menguntungkan kedua negara. Dia merasa yakin bahwa pemerintahan oleh Belanda masih diperlukan untuk beberapa tahun lagi.

Namun klaim NIVIO itu mendapat bantahan dari Perhimpunan Indonesia (PI). Bahkan, PI mencaci maki NIVIO sebagai para "pembelot". Tidak hanya itu saja. PI juga melakukan tekanan dengan menempatkan anggota PI di depan rumah anggota NIVIO. Mereka menghalangi anggota NIVIO untuk menghadiri rapat-rapat. Karena beberapa alasan, NIVIO dan Noto Soeroto tidak bertahan lama.

Kejadian berikut ini menggambarkan suasana khas di antara anggota PI waktu itu. Lambang PI adalah bendera merah-putih dengan kepala kerbau di tengahnya.Di rumah Soebardjo yang sering dijadikan tempat pertemuan para mahasiswa untuk membahas masalah-masalah politik, bendera ini ditempelkan di tembok ruang duduk.

Ali Sastroamidjojo mengenangkan kembali, "Tiap kali kami akan ujian, kami harus berdiri di depan bendera dan berdoa sejenak untuk menguatkan kemauan dan kemerdekaan tanah air. Pada suatu waktu, seseorang yang bernama Mr. Achmad akan menempuh ujian sarjana hukum. Saya menemani dia di universitas, dan walaupun dia penuh percaya diri, karena memang dia telah bekerja keras, ternyata dia gagal dan harus ujian ulang tiga bulan lagi. Achmad sangat kecewa dan tidak mengerti bagaimana bisa gagal. Saya bertanya kepadanya apakah sebelum ujian dia sudah pergi ke rumah Soebardjo dan mengheningkan cipta di depan bendera merah-putih dengan gambar kepala kerbau. Achmad terperanjat dan mengaku bahwa hal itu belum ia lakukan karena ia lupa sama sekali. Dia berjanji bahwa lain kali ia tidak akan melupakan 'upacara bendera' itu. Tiga bulan kemudian ia ujian lagi dan lulus. Dia berkata kepada saya bahwa sebelum ujian dia telah berdiri di depan bendera dan mengheningkan cipta, tidak hanya beberapa detik, melainkan selama lima menit. Menurut dia, inilah sebabnya mengapa ia lulus."

Penasihat mengikuti perkembangan ini dengan was-was. Dengan sekuat tenaganya dan dengan semua sarana yang ia miliki, ia berusaha untuk menciptakan hubungan yang serasi, tetapi hasilnya membuat ia putus asa. Dia malah merasa bahwa sebaiknya golongan elit Indonesia tidak mengirim anak-anaknya untuk belajar di negeri Belanda; "wataknya, kesehatannya, dan masa depannya akan dirugikan". Nasihat ini dapat dibenarkan karena pada tahun 1924 dan 1927 di Batavia telah dibuka Fakultas Hukum dan Fakultas Kedokteran. Jadi, tidak perlu lagi ke negeri Belanda untuk memperoleh gelar; fakultas-fakultas di Indonesia ini sama tarafnya dengan fakultas di negeri Belanda.

Penasihat berperan penting dalam mendorong Menteri Wilayah Jajahan dan Menteri Kehakiman untuk menuntut para pemimpin PI yang  tindakannya dianggap sebagai tindakan kriminal. Setelah PI bergabung dengan pemimpin Komunis Indonesia dalam pengasingan, setelah mereka  mulai aktif dalam Liga yang berhaluan kiri dan menentang penindasan imperialisme dan kolonialisme, dan setelah pemberontakan Partai Komunis  Indonesia menyadarkan penguasa-penguasa Belanda bahwa situasinya sudah sangat gawat, barulah polisi Belanda bertindak. Empat rumah mahasiswa digeledah pada bulan Juni 1927 dan banyak dokumen ditemukan. Sebagai kelanjutannya, pada bulan September tiga mahasiswa Fakultas Hukum ditangkap, yaitu Ali Sastroamidjojo, Abdoelmadjid Djojoadhiningrat, dan Pamontjak, bersama-sama dengan Hatta. Soebardjo dan Nazif, juga mahasiswa Fakultas Hukum Leiden, memilih tinggal di luar negeri, karena mereka khawatir akan ditangkap. Kekhawatiran mereka cukup beralasan.

Salah satu dari tiga yang ditangkap, yaitu Ali Sastroamidjojo, menghadapi masalah lain di samping penahanan dan pengadilannya yang akan datang. Ujian sarjananya harus ditempuh empat minggu lagi. Kalau ini tidak dilakukan maka semua mata kuliah yang sudah lulus akan mubazir dan ia harus mengulang semuanya lagi. Untuk ini ia tidak mempunyai uang, jadi ia harus pulang; ini berarti bahwa semua upaya belajarnya sia-sia. Dengan bantuan penasihat hukum yang diperbantukan kepadanya dan digaji oleh Sociaal-Democratische Arbeiders Partij, ia berhasil mendapat izin untuk menempuh ujian.

Pada hari yang sudah ditetapkan, perserikatan pemuda sosialis merencanakan akan mengadakan demonstrasi di depan gedung universitas. Akan tetapi, pihak yang berwajib, dengan persetujuan senat Fakultas Hukum, memajukan tanggal ujian dua hari sebelumya. Ali Sastroamidjojo mengingat kembali peristiwa itu:

Berikut kutipan kata-kata Ali Sastroamidjojo:
"Pada hari ujian pagi-pagi sekali saya dibawa ke Leiden dalam mobil penjara dengan kawalan dua polisi rahasia. Setelah kami tiba, kedua pengawal dan saya masuk melalui pintu belakang ke lantai dasar universitas di Rapenburg, dan dari sana kami langsung ke "kamar berkeringat", yaitu sebuah kamar di dekat ruang ujian di mana setiap mahasiswa yang akan menempuh ujian harus menunggu. Kemudian saya dibawa masuk ke ruang ujian; di belakang meja hijau sudah duduk para guru-besar Fakultas Hukum yang meminati "Undang-Undang Hindia Belanda".

Semua guru-besar yang ternama di Belanda waktu itu ikut hadir: Profesor C. van Vollenhoven, Profesor Hazeu, Profesor Andre de la Porte, dan Profesor Scheltema. Ujian universitas semacam ini biasanya terbuka untuk semua orang yang berminat; mereka akan duduk di belakang mahasiswa yang sedang diuji. Akan tetapi, dalam kasus saya tidak ada orang lain yang boleh hadir kecuali kedua polisi rahasia yang mengawal saya.

Selama dua jam saya harus menjawab pertanyaan-pertanyaan para profesor. Perlu saya jelaskan di sini bahwa dari pertanyaan yang diajukan dan dari sikap para profesor pada waktu itu, orang tidak bisa mengetahui sedikit pun bahwa status saya adalah tahanan politik. Sikap dan tindakan mereka benar-benar sebagai ilmuwan. Ini membuat saya tenang dan memungkinkan saya mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada ujian. Saya lupa hal-hal lain, bahkan saya tidak lagi merasakan pandangan mata tajam dari kedua pengawal di belakang saya. Tanpa saya sadari ujian sudah berakhir. Saya diminta menunggu di luar untuk memberikan kesempatan kepada para profesor untuk menentukan keputusan mereka. Sesudah menunggu sebentar, saya diminta untuk masuk lagi, dan ketua senat fakultas memberitahukan bahwa saya lulus dan berhak menyandang gelar sarjana hukum. Saya sangat lega, dan dengan kerendahan hati saya mengucap syukur kepada Allah. 


Sekarang saya bisa dengan lebih tenang memusatkan perhatian saya pada tuduhan yang diajukan kepada kami berempat, dan saya merasa tidak peduli berapa tahun saya akan dipenjarakan. Dengan pikiran seperti ini saya meninggalkan ruang ujian untuk menemui istri dan anak saya. Saya tidak  diperkenankan berbicara dengan mereka untuk waktu lama; pengawal saya hanya memberi waktu  secukupnya untuk memberitahukan hasil ujian saya. Akan tetapi, saya memakai kesempatan ini sebaik-baiknya, dan dengan berbicara secepat mungkin saya bisa menitipkan pesan pada istri saya untuk  teman-teman yang masih bebas."

Pengadilan keempat mahasiswa yang telah enam bulan ditahan, berakhir dengan kekalahan total bagi para penguasa. Tuduhan mereka, yaitu bahwa para mahasiswa menimbulkan tindak kekerasan melawan pihak berwenang, dinyatakan tidak terbukti dan para terdakwa dibebaskan dengan segera. PI telah menang dan pemerintah benar-benar kehilangan muka. Dalam sejarah universitas tercatat kejadian yang langka, yaitu seorang mahasiswa hukum yang sedang dipenjara lulus ujian sarjana.

Sampai tahun 1930 tidak ada perubahan yang berarti dalam jumlah mahasiswa Indonesia di Leiden. Bagian terbesar memilih belajar Hukum Hindia Belanda. Dari tahun 1923 sampai 1930 tercatat 75 mahasiswa Hukum, sedangkan di Fakultas Kedokteran terdaftar 10 mahasiswa. Setelah masa sepi sebentar dari tahun 1926 sampai 1928, jumlah yang mendaftarkan diri naik lagi menjadi 16 pada tahun 1930.
Lebih baru Lebih lama