Sampai tahun 1930 tidak ada perubahan yang berarti dalam jumlah mahasiswa Indonesia di Leiden. Bagian terbesar memilih belajar Hukum Hindia Belanda. Dari tahun 1923 sampai 1930 tercatat 75 mahasiswa Hukum, sedangkan di Fakultas Kedokteran terdaftar 10 mahasiswa. Setelah masa sepi sebentar dari tahun 1926 sampai 1928, jumlah yang mendaftarkan diri naik lagi menjadi 16 pada tahun 1930. Perkembangan mahasiswa ini diungkap oleh Harry A. Poeze
(Sejarawan dari Universitas Leiden) dalam buku yang diterbitkan
Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).
Untuk pertama kalinya mahasiswa kedokteran datang di Leiden dalam jumlah yang cukup berarti. Kebanyakan dari mereka adalah dokter lulusan Stovia yang sudah bekerja beberapa tahun sebagai dokter pemerintah atau swasta, dan ingin memperoleh gelar Eropa. Jadi tentu saja mereka sedikit lebih tua dari mahasiswa Fakultas Hukum, dan kebanyakan juga disertai istri dan anak-anaknya dan lebih moderat dalam urusan politik. Biasanya dalam beberapa tahun saja mereka sudah bisa lulus ujian dokter. Hanya beberapa orang aktif di luar profesi mereka. Kadang-kadang mereka bertindak sebagai tuan rumah dan sebagai bapak bagi teman-teman setanah air mereka yang lebih muda. Begitulah Asikin Widjajakoesoema; rumahnya yang besar sering dijadikan tempat pertemuan PI pada tahun dua puluhan, dan masakan Ibu Asikin yang lezat tentu saja menjadi daya tarik tersendiri.'3 Mahasiswa lain yang terkenal adalah ahli penyakit lepra yang tersohor, J.B. Sitanala. Beberapa dokter ini hanya datang di Leiden untuk waktu pendek; untuk belajar pada Institut Kedokteran Tropis, misalnya. Lain-lainnya mendapatkan tutor mereka di Universitas Leiden.
Akhirnya, wanita Indonesia yang pertama mendaftarkan diri adalah Ida Lamongga Haroen Al Rasjid. Dia belajar kedokteran, mula-mula di Utrecht dari tahun 1923, tetapi pada tahun 1927 dia pindah ke Leiden. Dia putri seorang dokter Indonesia dari Sumatra Selatan. Pada tahun 1931dia lulus dan menjadi wanita Indonesia pertama dengan gelar akademik. Dia tidak bergaul dengan mahasiswa Indonesia lainnya. Dia kembali ke Indonesia, tetapi hanya sebentar saja. Dia kembali lagi ke Belanda dan menikah dengan seorang dokter Belanda dan menjadi warga negara Belanda. Karena ia memisahkan diri dari kelompoknya, maka ia tidak pernah diberi pengakuan dan kehormatan sebagai wanita Indonesia yang pertama mendapat gelar akademik.
Menurut pendapat Harry A. Poeze, jika dibandingkan dengan tahun dua puluhan kelompok mahasiswa Indonesia masa ini memiliki sifat-sifat yang lebih beragam. Hanya ada satu kelompok besar yang bisa dipisahkan, yaitu kelompok dokter-Stovia yang berjumlah dua puluh lima orang dan semuanya berhasil menggondol gelar Eropa yang sangat didambakan. Tidak ada seorang pun yang gagal dalam kelompok ini. Satu bukti tingginya mutu Stovia. Masih ada sejumlah lulusan Rechtsschool yang terdaftar, tetapi tidak sebanyak dalam dekade sebelumnya. Juga ada beberapa yang setelah menempuh ujian sarjana di Fakultas Hukum di Batavia pergi ke Leiden untuk menyelesaikan studinya dan untuk memperluas wawasannya di Eropa. Ada pula yang pergi ke negeri Belanda setelah gagal dalam ujian di Fakultas Kedokteran atau Fakultas Hukum di Batavia, dengan harapan bahwa nasib mereka akan lebih baik di Leiden.
Kadang-kadang keputusan untuk pergi ke Belanda diambil secara tergesa-gesa, namun bagi banyak orang Indonesia dan Cina, negeri ini masih merupakan negeri yang memberikan banyak kesempatan. Prospek untuk berhasil memang tidak selalu cerah. Ini dapat dilihat dari hasilnya; dibandingkan dengan keadaan pada tahun dua puluhan, lebih banyak mahasiswa yang menjadi drop-out atau berhasil setelah perjuangan yang berkepanjangan. Mengenai ini ada banyak kisah pribadi dengan kekhususan masing-masing yang dapat diceritakan.
Untuk pertama kalinya mahasiswa kedokteran datang di Leiden dalam jumlah yang cukup berarti. Kebanyakan dari mereka adalah dokter lulusan Stovia yang sudah bekerja beberapa tahun sebagai dokter pemerintah atau swasta, dan ingin memperoleh gelar Eropa. Jadi tentu saja mereka sedikit lebih tua dari mahasiswa Fakultas Hukum, dan kebanyakan juga disertai istri dan anak-anaknya dan lebih moderat dalam urusan politik. Biasanya dalam beberapa tahun saja mereka sudah bisa lulus ujian dokter. Hanya beberapa orang aktif di luar profesi mereka. Kadang-kadang mereka bertindak sebagai tuan rumah dan sebagai bapak bagi teman-teman setanah air mereka yang lebih muda. Begitulah Asikin Widjajakoesoema; rumahnya yang besar sering dijadikan tempat pertemuan PI pada tahun dua puluhan, dan masakan Ibu Asikin yang lezat tentu saja menjadi daya tarik tersendiri.'3 Mahasiswa lain yang terkenal adalah ahli penyakit lepra yang tersohor, J.B. Sitanala. Beberapa dokter ini hanya datang di Leiden untuk waktu pendek; untuk belajar pada Institut Kedokteran Tropis, misalnya. Lain-lainnya mendapatkan tutor mereka di Universitas Leiden.
Akhirnya, wanita Indonesia yang pertama mendaftarkan diri adalah Ida Lamongga Haroen Al Rasjid. Dia belajar kedokteran, mula-mula di Utrecht dari tahun 1923, tetapi pada tahun 1927 dia pindah ke Leiden. Dia putri seorang dokter Indonesia dari Sumatra Selatan. Pada tahun 1931dia lulus dan menjadi wanita Indonesia pertama dengan gelar akademik. Dia tidak bergaul dengan mahasiswa Indonesia lainnya. Dia kembali ke Indonesia, tetapi hanya sebentar saja. Dia kembali lagi ke Belanda dan menikah dengan seorang dokter Belanda dan menjadi warga negara Belanda. Karena ia memisahkan diri dari kelompoknya, maka ia tidak pernah diberi pengakuan dan kehormatan sebagai wanita Indonesia yang pertama mendapat gelar akademik.
Menurut pendapat Harry A. Poeze, jika dibandingkan dengan tahun dua puluhan kelompok mahasiswa Indonesia masa ini memiliki sifat-sifat yang lebih beragam. Hanya ada satu kelompok besar yang bisa dipisahkan, yaitu kelompok dokter-Stovia yang berjumlah dua puluh lima orang dan semuanya berhasil menggondol gelar Eropa yang sangat didambakan. Tidak ada seorang pun yang gagal dalam kelompok ini. Satu bukti tingginya mutu Stovia. Masih ada sejumlah lulusan Rechtsschool yang terdaftar, tetapi tidak sebanyak dalam dekade sebelumnya. Juga ada beberapa yang setelah menempuh ujian sarjana di Fakultas Hukum di Batavia pergi ke Leiden untuk menyelesaikan studinya dan untuk memperluas wawasannya di Eropa. Ada pula yang pergi ke negeri Belanda setelah gagal dalam ujian di Fakultas Kedokteran atau Fakultas Hukum di Batavia, dengan harapan bahwa nasib mereka akan lebih baik di Leiden.
Kadang-kadang keputusan untuk pergi ke Belanda diambil secara tergesa-gesa, namun bagi banyak orang Indonesia dan Cina, negeri ini masih merupakan negeri yang memberikan banyak kesempatan. Prospek untuk berhasil memang tidak selalu cerah. Ini dapat dilihat dari hasilnya; dibandingkan dengan keadaan pada tahun dua puluhan, lebih banyak mahasiswa yang menjadi drop-out atau berhasil setelah perjuangan yang berkepanjangan. Mengenai ini ada banyak kisah pribadi dengan kekhususan masing-masing yang dapat diceritakan.