Mahasiswa Indonesia generasi baru yang datang ke negeri Belanda membawa pengalaman yang berbeda dari para pendahulu mereka. Di Hindia Belanda mereka telah menyaksikan dan ada yang ikut serta dalam permulaan tumbuhnya berbagai macam perserikatan pembaruan yang berani mengecam Pemerintahan Hindia Belanda secara terbuka. Perkembangan gerakan mahasiswa Indonesia di Belanda tersebut juga diungkap oleh Harry A. Poeze
(Sejarawan dari Universitas Leiden) dalam buku yang diterbitkan
Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).
Tumbuhnya Gerakan Radikal Mahasiswa
Melalui kegiatan dalam seksi pemudanya, mereka mendapat pengalaman pertama dalam kegiatan politik, organisasi, dan aksi. Kesadaran awal ini mau tidak mau makin menjadi kuat di negeri Belanda. Di sini hak-hak demokrasi sepenuhnya berlaku; dan baru di sini para mahasiswa ini menyadari betapa otoriter dan rasialisnya masyarakat Hindia Belanda. Di sana terdapat garis-garis batas kulit berwarna yang tidak mungkin diterobos. Garis pemisah ini yang pertama dan terutama menentukan kedudukan dan perilaku seseorang. Di negeri Belanda garis-garis pembatas ini tidak ada dan mahasiswa-mahasiswa Indonesia bahkan diperlakukan dengan lebih hormat daripada mahasiswa Belanda sendiri. Tidak mengherankan jika mereka merasa tidak puas dengan situasi di Hindia Belanda dan, pada usia yang reseptif, mereka sudah terbawa ideologi dan cara-cara perbaikan yang lebih radikal, yang berkembang secara bebas di negeri Belanda. Dengan demikian Indische Vereeniging berubah menjadi radikal.
Prosesnya diawali dengan mengganti namanya menjadi Indonesische Vereeniging (1922) dan kemudian menjadi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925. Nama majalahnya diganti secara provokatif menjadi Indonesia Merdeka. Kelompok mahasiswa hukum di Leiden merupakan sebagian dari penggerak perubahan-perubahan ini. Mereka merupakan kelompok terbesar, dengan usia rata-rata yang lebih muda, dan tentu saja mereka dipengaruhi oleh studinya dalam bidang hukum dan keadilan, di bawah asuhan dosen-dosen Belanda yang liberal dan progresif.
Pada tahun 1923 dewan Perhimpunan Indonesia menyusun program yang secara drastis memutuskan hubungannya dengan masa lampaunya. Tiga dari lima anggota dewan adalah mahasiswa Fakultas Hukum Leiden; ketuanya Iwa Koesoemasoemantri Hatta yang belajar ekonomi di Rotterdam merupakan ideologis dan organisator yang besar. Dialah yang mengilhami penggunaan ungkapan-ungkapan radikal seperti kemerdekaan, mandiri, nirkerja sama, dan persatuan. Artikel dalam Indonesia Merdeka hampir semuanya, tanpa kecuali, berputar sekitar tema-tema ini. Karena majalah ini hanya untuk para anggotanya, maka sikapnya yang radikal belum sampai kepada masyarakat umum. Akan tetapi, ini terjadi ketika diterbitkan edisi khusus memperingati 15 tahun berdirinya organisasi tersebut. Ada tiga belas artikel tanpa nama, yang kebanyakan ditulis oleh mahasiswa Fakultas Hukum di Leiden, yang mengeksploitir tema baru tentang antikolonialisme, mismanagement Belanda, dan pertentangan fundamental antara penjajah dan yang dijajah.
Penerbitan ini mengguncangkan pers Belanda. Komentar-komentarnya menuding Universitas Leiden sebagai biang keladi. Profesor-profesor etika universitas ini yang terkenal dianggap bertanggung jawab atas perubahan sikap para mahasiswa yang menjadi begitu radikal. Banyak teori dikemukakan untuk mencari penyebabnya dan cara-cara untuk memperbaiki proses naas ini. Dalam hal yang terakhir ini Raadsman voor Studeerenden (Penasihat Mahasiswa) memegang peranan penting. Jabatan ini diadakan pada tahun 1916; sebagian dari tugasnya adalah melayani dan mengawasi mahasiswa Indonesia.
Dengan penuh keprihatinan, penasihat ini melalui laporan tahunannya minta perhatian Kementerian Wilayah Jajahan mengenai sikap para mahasiswa yang makin berubah menjadi radikal. Penasihat mengeluh karena kemampuannya untuk mengawasi dan mempengaruhi perilaku para mahasiswa makin berkurang. Dikatakan bahwa kalau tidak terpaksa karena urusan keuangan, para mahasiswa selalu menghindari berhubungan dengan penasihat. Hanya mereka yang beasiswanya dibayar melalui penasihat, terpaksa sedikitnya mengadakan hubungan secara resmi.
Mahasiswa Indonesia Mulai Mendapat Teguran dan Kekangan
Penasihat tidak segan mengambil tindakan tegas: teguran, ancaman penarikan beasiswa, surat-surat pernyataan yang menyatakan bahwa penanda tangan tidak akan melibatkan diri dalam tindakan radikal, suratsurat kepada orang tua para mahasiswa yang pada umumnya adalah pendukung pemerintah, semua ini dipakai untuk mengekang aksi mahasiswa. Akan tetapi, tidak berhasil. Mereka melanjutkan aksinya secara terselubung; rapat-rapat diadakan secara tertutup, dan kalau berbicara di depan umum mereka memakai nama samaran dan penerima beasiswa menduduki jabatan dalam pimpinan-bayangan PL. Di depan umum hanya beberapa mahasiswa bertindak atas nama PI, yaitu mereka yang tidak terlibat oleh beasiswa, yang tidak perlu mengkhawatirkan orang tuanya atau kehilangan kesempatan menjadi pegawai pemerintah.
Ancaman-ancaman ini ternyata juga membawa akibat yang tidak diinginkan: persatuan menjadi makin erat, dan sebagai kelompok yang memisahkan diri pandangan mereka menjadi makin tertutup. Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak bisa menghargai pandangan orang lain. Pendapat yang bertentangan tidak diterima dan para anggota diharuskan minta izin PI sebelum berbicara atau menulis tentang politik dalam forum umum. Noto Soeroto dihukum karena tidak menaati peraturan ini. Ia dikeluarkan dari PI. Ia masih merupakan pembicara yang gigih memperjuangkan hubungan baik antara negara Belanda dan Indonesia, dan kerja sama yang akan menguntungkan kedua negara. Dia merasa yakin bahwa pemerintahan oleh Belanda masih diperlukan untuk beberapa tahun lagi.
Noto Soeroto sudah mendapat nama di negeri Belanda, sebagai sastrawan, penerbit, dan filsuf. Untuk membendung apa yang menurut dia adalah jalur bencana yang ditempuh PI, dia menerbitkan majalah bulanan yang disebut Oedaya dan juga buku-buku dan buklet, dan berbicara pada beberapa kesempatan. Cita-citanya mengilhami perserikatan Nederlandsch-Indisch Verbond van Jongeren Organisaties (NIVIO).
Tumbuhnya Gerakan Radikal Mahasiswa
Melalui kegiatan dalam seksi pemudanya, mereka mendapat pengalaman pertama dalam kegiatan politik, organisasi, dan aksi. Kesadaran awal ini mau tidak mau makin menjadi kuat di negeri Belanda. Di sini hak-hak demokrasi sepenuhnya berlaku; dan baru di sini para mahasiswa ini menyadari betapa otoriter dan rasialisnya masyarakat Hindia Belanda. Di sana terdapat garis-garis batas kulit berwarna yang tidak mungkin diterobos. Garis pemisah ini yang pertama dan terutama menentukan kedudukan dan perilaku seseorang. Di negeri Belanda garis-garis pembatas ini tidak ada dan mahasiswa-mahasiswa Indonesia bahkan diperlakukan dengan lebih hormat daripada mahasiswa Belanda sendiri. Tidak mengherankan jika mereka merasa tidak puas dengan situasi di Hindia Belanda dan, pada usia yang reseptif, mereka sudah terbawa ideologi dan cara-cara perbaikan yang lebih radikal, yang berkembang secara bebas di negeri Belanda. Dengan demikian Indische Vereeniging berubah menjadi radikal.
Prosesnya diawali dengan mengganti namanya menjadi Indonesische Vereeniging (1922) dan kemudian menjadi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925. Nama majalahnya diganti secara provokatif menjadi Indonesia Merdeka. Kelompok mahasiswa hukum di Leiden merupakan sebagian dari penggerak perubahan-perubahan ini. Mereka merupakan kelompok terbesar, dengan usia rata-rata yang lebih muda, dan tentu saja mereka dipengaruhi oleh studinya dalam bidang hukum dan keadilan, di bawah asuhan dosen-dosen Belanda yang liberal dan progresif.
Pada tahun 1923 dewan Perhimpunan Indonesia menyusun program yang secara drastis memutuskan hubungannya dengan masa lampaunya. Tiga dari lima anggota dewan adalah mahasiswa Fakultas Hukum Leiden; ketuanya Iwa Koesoemasoemantri Hatta yang belajar ekonomi di Rotterdam merupakan ideologis dan organisator yang besar. Dialah yang mengilhami penggunaan ungkapan-ungkapan radikal seperti kemerdekaan, mandiri, nirkerja sama, dan persatuan. Artikel dalam Indonesia Merdeka hampir semuanya, tanpa kecuali, berputar sekitar tema-tema ini. Karena majalah ini hanya untuk para anggotanya, maka sikapnya yang radikal belum sampai kepada masyarakat umum. Akan tetapi, ini terjadi ketika diterbitkan edisi khusus memperingati 15 tahun berdirinya organisasi tersebut. Ada tiga belas artikel tanpa nama, yang kebanyakan ditulis oleh mahasiswa Fakultas Hukum di Leiden, yang mengeksploitir tema baru tentang antikolonialisme, mismanagement Belanda, dan pertentangan fundamental antara penjajah dan yang dijajah.
Penerbitan ini mengguncangkan pers Belanda. Komentar-komentarnya menuding Universitas Leiden sebagai biang keladi. Profesor-profesor etika universitas ini yang terkenal dianggap bertanggung jawab atas perubahan sikap para mahasiswa yang menjadi begitu radikal. Banyak teori dikemukakan untuk mencari penyebabnya dan cara-cara untuk memperbaiki proses naas ini. Dalam hal yang terakhir ini Raadsman voor Studeerenden (Penasihat Mahasiswa) memegang peranan penting. Jabatan ini diadakan pada tahun 1916; sebagian dari tugasnya adalah melayani dan mengawasi mahasiswa Indonesia.
Dengan penuh keprihatinan, penasihat ini melalui laporan tahunannya minta perhatian Kementerian Wilayah Jajahan mengenai sikap para mahasiswa yang makin berubah menjadi radikal. Penasihat mengeluh karena kemampuannya untuk mengawasi dan mempengaruhi perilaku para mahasiswa makin berkurang. Dikatakan bahwa kalau tidak terpaksa karena urusan keuangan, para mahasiswa selalu menghindari berhubungan dengan penasihat. Hanya mereka yang beasiswanya dibayar melalui penasihat, terpaksa sedikitnya mengadakan hubungan secara resmi.
Mahasiswa Indonesia Mulai Mendapat Teguran dan Kekangan
Penasihat tidak segan mengambil tindakan tegas: teguran, ancaman penarikan beasiswa, surat-surat pernyataan yang menyatakan bahwa penanda tangan tidak akan melibatkan diri dalam tindakan radikal, suratsurat kepada orang tua para mahasiswa yang pada umumnya adalah pendukung pemerintah, semua ini dipakai untuk mengekang aksi mahasiswa. Akan tetapi, tidak berhasil. Mereka melanjutkan aksinya secara terselubung; rapat-rapat diadakan secara tertutup, dan kalau berbicara di depan umum mereka memakai nama samaran dan penerima beasiswa menduduki jabatan dalam pimpinan-bayangan PL. Di depan umum hanya beberapa mahasiswa bertindak atas nama PI, yaitu mereka yang tidak terlibat oleh beasiswa, yang tidak perlu mengkhawatirkan orang tuanya atau kehilangan kesempatan menjadi pegawai pemerintah.
Ancaman-ancaman ini ternyata juga membawa akibat yang tidak diinginkan: persatuan menjadi makin erat, dan sebagai kelompok yang memisahkan diri pandangan mereka menjadi makin tertutup. Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak bisa menghargai pandangan orang lain. Pendapat yang bertentangan tidak diterima dan para anggota diharuskan minta izin PI sebelum berbicara atau menulis tentang politik dalam forum umum. Noto Soeroto dihukum karena tidak menaati peraturan ini. Ia dikeluarkan dari PI. Ia masih merupakan pembicara yang gigih memperjuangkan hubungan baik antara negara Belanda dan Indonesia, dan kerja sama yang akan menguntungkan kedua negara. Dia merasa yakin bahwa pemerintahan oleh Belanda masih diperlukan untuk beberapa tahun lagi.
Noto Soeroto sudah mendapat nama di negeri Belanda, sebagai sastrawan, penerbit, dan filsuf. Untuk membendung apa yang menurut dia adalah jalur bencana yang ditempuh PI, dia menerbitkan majalah bulanan yang disebut Oedaya dan juga buku-buku dan buklet, dan berbicara pada beberapa kesempatan. Cita-citanya mengilhami perserikatan Nederlandsch-Indisch Verbond van Jongeren Organisaties (NIVIO).