Orang-Orang Indonesia di Belanda (6): Yap Hong Tjoen dan Mahasiswa Keturunan Cina Lainnya


Jumlah mahasiswa Hindia Belanda keturunan Cina yang kuliah di Belanda meningkat lebih cepat. Kisah mahasiswa Hindia Belanda keturunan Cina di Belanda ini diungkap oleh Harry A. Poeze (Sejarawan dari Universitas Leiden) dalam buku yang diterbitkan Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).
Yap Hong Tjoen
Pada abad kesembilan belas, sudah ada dua mahasiswa Hindia Belanda keturunan Cina yang kuliah ke Leiden. Kemudian pada tahun 1909 Yap Hong Tjoen juga datang ke Belanda untuk memulai pendidikannya di bidang kedokteran. Sampai tahun 1918 dia diikuti 15 mahasiswa Indonesia-Cina lainnya. Tak kurang dari sebelas di antaranya mengambil bidang kedokteran, dua bidang farmasi, dan dua lainnya bidang hukum. Pilihan ini sangat berbeda dengan pilihan mahasiswa Indonesia. Ada beberapa yang juga mengambil bidang kedokteran, tetapi semuanya memilin Amsterdam. Ini mungkin disebabkan mereka sudah memiliki gelar sebagai Indisch Arts dan di Amsterdam mereka dibebaskan dari beberapa ujian.


Pada waktu itu Stovia belum terbuka bagi mahasiswa Cina, jadi mereka harus mengikuti semua ujian yang diprasyaratkan. Yap mengambil spesialisasi dalam bidang ophthalmology dan menjadi mahasiswa Cina pertama yang mempertahankan tesisnya di Leiden'pada bulan Januari 1919. Tesisnya mengenai glaucoma. Di Indonesia Dr. Yap membuka klinik mata, mula-mula di Bandung, kemudian di Yogyakarta. Dia memiliki reputasi profesional yang tinggi dengan "Prinses Juliana Gasthuis voor Ooglijders"nya (Wisma Penderita Sakit Mata Prinses Juliana). Yap juga terlibat erat dengan pendirian Chung Hwa Hui (CHH), perkumpulan mahasiswa Cina-Indonesia di Belanda.

Peranan mahasiswa Leiden di CHH cukup berarti. Selama masa ini CHH mengikuti alur moderat dan mantap. Fungsi sosialnya sangat diperhatikan, begitu pula kesamaan latar belakang dan negara asal. Kesemuanya ini tercermin dalam terbitan berkala CHH, yaitu Chung Hwa Hui Tsa Chih. Yang patut dicatat adalah perhatian dan hubungannya yang erat dengan negeri Cina. Diplomat-diplomat Republik Cina menjadi tamu kehormatan pada pertemuan-pertemuan CHH, dan ceramah-ceramah yang kadang-kadang mereka berikan akan dimuat kembali pada terbitan CHH.

Ketika Jepang menyerbu Cina pada tahun tiga puluhan, sebagian besar majalah CHH memuat uraian dan analisis tentang kebiadaban perilaku Jepang dan niat-niat jahatnya. Hubungan CHH dengan persatuan mahasiswa Indonesia secara umum baik, walaupun CHH menjaga jarak. Ketika untuk beberapa waktu Perhimpunan Indonesia, demikian namanya waktu itu, condong ke aliran Komunis, CHH memutuskan hubungan. Ketika PI kembali menempuh alur yang lebih moderat sekitar tahun 1935, hubungan berlanjut lagi dan PI sepenuhnya mendukung kegiatan CHH untuk membantu rakyat Cina yang menderita.


Pada zaman Yap Hong Tjoen juga terdaftar mahasiswi yang pertama: Sien Everdien Ongkiehong, yang belajar farmasi dari tahun 1917 sampai !925- Dia adalah anggota keluarga Ongkiehong yang kedua yang belajar di Leiden. Akhirnya empat putra dan dua putrinya menjadi mahasiswa di Leiden; memang kejadian yang langka. Tiga menjadi dokter dan tiga menjadi apoteker. Putri kedua, Anna Lucia, belajar kedokteran pada tahun 1920. Ayah mereka pedagang yang kaya raya dan berpikiran maju di Ambon. Dia menerima sepenuhnya kebudayaan Barat sehingga keenam belas anaknya pun diberi nama panggilan Belanda dan pendidikan Belanda sepenuhnya. Delapan atau sembilan anaknya dikirim ke negeri Belanda untuk belajar di sekolah lanjutan atau universitas, termasuk kedua gadisnya. Ini membuat dia dikecam keras oleh masyarakat Cina di Ambon, karena menurut adat, sebelum seorang gadis Cina menikah, dia harus selalu berada di bawah pengawasan orang tuanya. Tugas ini diambil alih oleh abang-abangnya. Ketika ayahnya meninggal pada kira-kira tahun 1920, secara berturut-turut kakak yang lebih tua melakukan kewajibannya untuk membiayai pendidikan adik-adiknya.

Keluarga Ongkiehong berhubungan erat dengan keluarga Cina lain yang juga berasal dari Ambon, yaitu keluarga Njiokiktjien, yang mempunyai empat anak di Leiden. Di antaranya seorang gadis yang bernama Anna Lucia, yang menjadi mahasiswi kedua yang mendaftarkan diri di Leiden pada tahun 1919. Namun, rupanya studinya di Fakultas Sastra gagal karena ia meninggalkan Leiden setelah dua tahun tanpa pernah lulus ujian. Mahasiswa bersaudara ini tinggal di satu rumah, mula-mula di Laan van Meerdervoort di Den Haag, kemudian di Zoeterwoudsche Singel di Leiden. Semua putra-putri Ongkiehong kembali ke Hindia Belanda untuk mempraktikkan profesi mereka, tetapi perkembangan sesudah Perang Dunia II menyebabkan mereka kembali lagi ke Belanda, dan kali ini untuk selamanya. Hanya Anna Lucia tetap di Indonesia. Dia telah memeluk agama Roma Katolik dan bekerja di misi.

Lebih baru Lebih lama