Orang-Orang Indonesia di Belanda (7): Peran Guru Bantu, Politik Etis dan Beasiswa


Sampai tahun 1920 jumlah mahasiswa Indonesia yang terdaftar kuliah di Belanda paling banyak empat orang per tahun. Namun dalam almanak Korps Mahasiswa Leiden pada tahun 1919 tercatat ada delapan belas mahasiswa yang berasal dari Hindia Belanda. Yang termasuk dalam keluarga universitas tidak hanya mahasiswa, tetapi juga para "guru-bantu". Keberadaan guru bantu di Belanda itu juga diungkap oleh Harry A. Poeze (Sejarawan dari Universitas Leiden) dalam buku yang diterbitkan Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).

Soepomo
Peran "Guru Bantu" di Belanda
Pada tahun 1918 para guru-bantu di Belanda diangkat untuk mengajar bahasa Jawa dan Melayu, terutama untuk bercakap-cakap. Menurut berita pers, pengangkatan seperti ini telah dilakukan sejak tahun 1910 di Leiden; dua tahun kemudian nama para guru ini juga disebutkan dalam koran. Oleh suatu sebab yang tidak jelas, baru enam tahun kemudian rencana ini dapat diwujudkan.

Para mahasiswa dilatih dengan bantuan guru-guru bantu ini. Dengan sendirinya, bagi para mahasiswa yang sedang belajar indologi latihan-latihan ini sangat berguna. Karena perang yang sedang berlangsung, maka tenaga guru diambil dari orang-orang Indonesia yang tinggal di negeri Belanda. Yang pertama diangkat adalah Dahlan Abdoellah untuk bahasa Melayu dan Samsi Sastrowidagdo untuk bahasa Jawa. Samsi datang di negeri Belanda pada tahun 1913 untuk mengambil ijazah guru; dia dibiayai oleh Yayasan Boedi Oetomo yang didirikan oleh orang-orang Jawa. Ketika dananya habis, pembiayaan diambil alih oleh satu yayasan Belanda. Oleh karena itu, pengangkatannya sebagai guru-bantu dengan gaji F 3.000 setahun, merupakan jalan keluar yang sangat diharapkan. Dahlan Abdoellah, seorang Minangkabau, juga belajar di sekolah guru, setibanya di negeri Belanda pada tahun 1913. Dia anggota terkemuka dari Indische Vereeniging dan pembicara radikal dalam semua pertemuan.

Politik Etis dan Beasiswa di Belanda
Dengan berakhirnya Perang Dunia Pertama dan membaiknya hubungan, makin banyak mahasiswa Indonesia dan Cina datang ke negeri Belanda. Ini merupakan akibat makin besarnya kesempatan pendidikan di Indonesia yang disebabkan oleh Politik Etis. idak hanya beberapa gelintir orang yang mewakili golongan elit Jawa saja yang bisa melanjutkan ke sekolah lanjutan, tetapi banyak pemuda-pemuda dari lapisan masyarakat lain berupaya mendapat tempat dalam pendidikan lanjutan. Hal ini dimungkinkan karena sistem pemberian beasiswa yang berlaku. Meskipun demikian, yang terdaftar hanya beberapa ratus orang saja. Akan tetapi, dari kelompok inilah calon-calon mahasiswa yang akan belajar di negeri Belanda dipilih. Dan apabila seorang mempunyai bakat tetapi tidak mempunyai uang, Pemerintah Hindia Belanda akan memberikan beasiswa.

Selain beasiswa-beasiswa ini, Pemerintah Hindia Belanda baru saja mengumumkan agar para dokter dan dokter hewan pribumi yang pegawai negeri berusaha menambah kualifikasi mereka dengan mencari gelar dari universitas Belanda. Mereka diberi kesempatan untuk belajar dengan tetap menerima gaji. Pada mulanya mereka kebanyakan pergi ke Amsterdam dan Utrecht.

Untuk mahasiswa hukum ada kesempatan baru sejak tahun 1921. Profesor C. van Vollenhoven, seorang ahli hukum yang terkenal bersifat otoratif dan liberal, berjuang meyakinkan universitasnya, Dinas Kolonial, dan Kementerian Pendidikan, tentang perlunya memberikan fasilitasfasilitas khusus bagi mahasiswa hukum dari Indonesia. Ia didukung oleh Indische Vereeniging dan Chung Hwa Hui. Tuntutan mereka dikabulkan pada tahun 1920, yaitu pembebasan ujian B.A. bagi mereka yang telah lulus dari Rechtsschool di Batavia. Kecuali ini, satu mata kuliah baru diberikan, yaitu Hukum Hindia Belanda, yang merupakan mata kuliah lengkap dan berdiri sendiri. Bersama dengan indologi, hukum Hindia Belanda ini diajarkan di fakultas baru, yaitu yang merupakan gabungan antara fakultas hukum dan fakultas sastra.
Bagi para mahasiswa Indonesia, yang sudah ataupun yang belum menyelesaikan studinya di Rechtsschool, ini merupakan prospek yang menarik. Sangat cocok dengan kebutuhan birokrasi kolonial yang makin luas. Lagi pula, ini juga memberikan kesempatan yang sangat baik bagi orang-orang Indonesia untuk memperoleh gelar akademik Belanda yang bergengsi. Peraturan baru ini mempunyai dampak langsung. Tidak kurang dari delapan ahli hukum Indonesia melepaskan pekerjaannya dalam pemerintahan dan pergi ke Leiden dengan biaya sendiri. Dua tahun kemudian jumlah mereka sudah meningkat menjadi 27. Akan tetapi, di antara mereka ada sekelompok yang dikirim oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk memperoleh gelar tambahan. Ini membuktikan betapa menariknya peraturan baru yang fleksibel tersebut. Angka-angka menunjukkan bahwa mata kuliah hukum Hindia Belanda menjadi pilihan sebagian besar mahasiswa Indonesia.

Untuk tiga mahasiswa yang tiba di negeri Belanda pada tahun 1919 setelah Perang Dunia berakhir, peraturan itu terlambat. Maramis, Pamontjak, dan Soebardjo masih harus mengikuti peraturan lama, yaitu menempuh ujian negara dulu baru kemudian mengikuti kuliah ilmu hukum. Maramis tidak putus asa; dia menjadi ahli hukum pada tahun 1924. Bagi Soebardjo dan Pamontjak mula-mula semuanya berjalan lancar, tetapi setelah ujian sarjana mudanya mereka mulai terjun dalam politik yang beraliran lebih radikal. Baru pada tahun 1933 dan 1940 akhirnya mereka menyelesaikan studinya dengan berhasil.

Yang Berhasil dan Jadi Pahlawan Nasional Indonesia
Dari semua mahasiswa hukum, Gondokoesoemo ternyata yang paling menonjol. Tujuh bulan setelah mendaftar ia memperoleh gelar sarjananya. Setahun kemudian ia mempertahankan disertasinya dan pada waktu bersamaan dia berhasil lulus ujian hukum Hindia Belanda yang memberikan peluang baginya untuk duduk dalam Dewan Hakim Hindia Belanda. Pada kesempatan itu Profesor van Vollenhoven, sebagai supervisor, dan Profesor Snouck Hurgronje yang menjabat sebagai vice-chancellor, menyampaikan pidato dan memuji doktor muda ini yang berpakaian adat Jawa, seperti para pendukungnya.

Sesuai dengan jiwa Politik Etis, Leidsch Universiteits Fonds (LUF), badan swasta yang memberi dukungan finansial pada usaha-usaha akademik dan kemahasiswaan, menetapkan pada tahun 1921 untuk memberi hadiah tahunan kepada yang lulus terbaik ujian sarjana di Batavia Rechtsschool, dalam bidang hukum Belanda atau Hindia Belanda. Hadiah Kanaka sebesar F 500, dan Gadjah Mada F 750 sangat  menyenangkan bagi yang mendapatkan. Yang mendapat hadiah Kanaka: Oerip Kartodirdjo (1922), Soemardi (1923), Soesanto Tirtoprodjo (1925), Hadi (1926), Wirjono Prodjodikoro (1927), Soekanto (1933), Maria Ullfah Achmad (1934), dan Teuku Moehamad Hasan (1934). Satu-satunya pemenang hadiah Gadjamada adalah Soepomo pada tahun 1928.

Dalam perkembangannya, Soepomo berhasil menyandang berbegai gelar akademik dan dikenal sebagai arsitek Undang-undang Dasar 1945, bersama dengan Muhammad Yamin dan Soekarno. Pria kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, 22 Januari 1903 itu meninggal dalam usia muda akibat serangan jantung di Jakarta pada 12 September 1958 dan dimakamkan di Solo. Prof. Mr. Dr. Soepomo kemudian diangkat sebagai pahlawan nasional Indonesia.


Lebih baru Lebih lama