Orang-Orang Indonesia di Belanda (5): Mahasiswa Nekat dan Terbentuknya Persatuan Mahasiswa

Di antara mahasiswa Indonesia yang kuliah di Belanda, ada satu orang yang terbilang mahasiswa nekat, yaitu Soemitro, putra seorang regent. Dia datang ke Belanda tanpa bekal uang cukup, tapi bisa kuliah sambil bekerja sebagai buruh tambang. Kisah hidupnya di Belanda diungkap oleh Harry A. Poeze (Sejarawan dari Universitas Leiden) dalam buku yang diterbitkan Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).



Soemitro pergi ke Belanda bukan karena ayahnya berwawasan luas atau bersedia membiayainya. Sebaliknya, dengan melawan kehendak ayahnya ia melanjutkan sekolah di sekolah lanjutan di Batavia, dan kekerasan tekadnya tidak berhenti di sini. Dia pergi ke Belanda sebagai penumpang kelas empat dan hampir tanpa uang sepeser pun. Dia bekerja dengan seorang penggembala di Leiden dan sebagai buruh tambang di Jerman untuk membiayai pelajarannya dalam indologi.

Akan tetapi, beban ini terlalu berat baginya. Ia tidak bisa menyelesaikan studinya dan beralih ke kursus kejuruan, terutama di bidang pertanian. Soemitro kembali ke Indonesia pada tahun 1914 dan menjadi salah seorang regent yang sangat dihormati, dengan nama Soemitro Kolopaking.

Seorang lagi mahasiswa pendahulu yang patut disebutkan di sini adalah Soeriosoeparto, seorang Jawa yang penuh inisiatif, putra ketiga seorang pangeran dari Solo, Mangkoenegoro V, yang meninggal pada tahun 1896. Ketika rencananya untuk memperoleh pendidikan Barat dihalang-halangi, ia meninggalkan Keraton Solo dan bekerja pada seorang regent dan seorang residen. Kariernya diperhatikan dan diikuti dengan saksama oleh pejabat-pejabat Belanda yang jumlahnya makin lama makin meningkat. Mereka semua ini berperan penting dalam mengupayakan kepergiannya ke Belanda pada tahun 1913.

Upaya ini disambut dengan gembira oleh Soeriosoeparto. Ia mendaftarkan diri di Universitas Leiden sebagai pendengar dalam mata kuliah bahasa-bahasa Timur. Ia menjadi sahabat dekat Noto Soeroto dan ia juga menjadi sukarelawan dalam dinas tentara Belanda. Soeriosoeparto sempat bertemu dengan banyak penguasa Belanda yang berpengaruh. Ini sedikit banyak merupakan bagian dari rencana pejabat-pejabat pendukung Politik Etis untuk menarik perhatian umum kepada Soeriosoeparto yang mungkin akan menggantikan Mangkoenegoro VI, yang telah menyatakan keinginannya untuk melepaskan tahtanya. Ketika hal ini menjadi semakin nyata, Soeriosoeparto didesak untuk segera pulang. Atas usaha teman-temannya ia bisa bertemu menghadap Ratu Wilhelmina sehari sebelum keberangkatannya; dan ini dimaksudkan untuk meningkatkan gengsinya dan memperbesar kemung-kinannya menjadi pengganti Mangkoenegoro VI.

Dan memang rupanya ini memberikan kesan yang baik, dan setelah beberapa perundingan, pada bulan Maret 1916 Soeriosoeparto dinobatkan menjadi Mangkoenegoro VII. Jumlah mahasiswa Indonesia di negeri Belanda makin meningkat selama beberapa tahun, dan pada bulan Oktober 1908 diselenggarakan pertemuan di Leiden, yang dihadiri oleh 15 mahasiswa, untuk membicarakan pembentukan suatu persatuan, dan secara resmi pada bulan berikutnya berdirilah persatuan mahasiswa Indonesia dengan nama Indische Vereeniging. Dari dua puluh anggotanya yang pertama, enam di antaranya belajar di Leiden. Pada mulanya perhimpunan ini hanya bertujuan sosial, sebagai tempat pertemuan bagi mahasiswa-mahasiswa yang tersebar di negeri itu. Soemitro, Hoesein Djajadiningrat, dan yang paling utama Noto Soeroto, merupakan tokoh-tokoh yang paling menonjol dalam kepengurusan perhimpunan ini.

Semua mahasiswa Indonesia yang terdaftar sebelum tahun 1915 telah disebutkan dan, sampai akhir Perang Dunia Pertama, hanya ada beberapa tambahan saja. Perjalanan yang sulit dan berbahaya dari Hindia Belanda menyebabkan berkurangnya jumlah mahasiswa yang berdatangan ke negeri ini. Sampai tahun 1919 hanya tercatat empat mahasiswa  baru. Mereka semuanya telah belajar di berbagai institut pendidikan di negeri Belanda - di sekolah lanjutan, sekolah guru, dan universitas teknik di Delft.


Lebih baru Lebih lama