Kerabat raja dari Yogyakarta yang datang kuliah ke Belanda makin banyak. Seperti diungkap dalam tulisan sebelumnya, Raden Mas Notokworo, datang ke Belanda pada September 1905 untuk belajar kedokteran. Notokworo adalah putra Pangeran Notodirodjo, kakak Pakoe Alam VI, penasihat dan pembantu utama raja. Setelah itu, dua kerabatnya, Noto Soeroto dan Gondowinoto, ikut menyusul ke Belanda untuk menuntut ilmu. Kisah mereka di Belanda diungkap oleh Harry A. Poeze
(Sejarawan dari Universitas Leiden) dalam buku yang diterbitkan
Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).
Notodirodjo dengan jelas melihat perlunya pendidikan Barat bagi generasi muda, tanpa membuang warisan budaya Jawa. Putranya bersekolah di sekolah lanjutan Belanda di Semarang dan mondok di rumah keluarga Belanda. Notokworo kemudian dikirim ke negeri Belanda, lalu diikuti oleh Noto Soeroto dan Gondowinoto. Mereka semua lulus ujian negara yang disyaratkan dan mendaftar di Leiden sebagai mahasiswa-mahasiswa kedokteran dan Hukum. Ini dilakukan Noto Soeroto pada tahun 1908, Gondowinoto pada tahun 191 o. Bersama seorang kakak lain yang berada di Delft, mereka mendiami sebuah rumah di Daguerrestraat di Den Haag.
Noto Soeroto segera aktif sebagai wartawan. Dengan tidak kenal menyerah dia memperjuangkan pengertian yang lebih baik antara Belanda dengan negara jajahannya, dan dengan sabar menjelaskan kepada masyarakat Belanda budaya dan adat rakyat Hindia Belanda. Mula-mula ini dilakukannya tanpa mengganggu pelajarannya; ia lulus ujian sarjana mudanya pada bulan Juni 1911, sebagai orang Indonesia pertama yang berhasil. Sesudah ini dia makin terlibat dengan kegiatan kewartawanannya.
Ketika pecah Perang Dunia Pertama dia dengan sukarela masuk dinas tentara Belanda. Dia mengikuti pendidikan perwira dan ditempatkan di perbatasan. Pada masa ini dia juga mulai menulis puisi. Sajak-sajaknya yang berbentuk prosa segera mendapat pengakuan. Karyanya diilhami oleh penyair dan filsuf Tagore, tetapi berlatar belakang kenangannya pada Jawa dan budaya Jawa. Puisi yang unik dan eksotik ini, yang begitu berbeda dari bentuk sastra Belanda lainnya, menarik perhatian banyak pengagum. Di samping giat di bidang sastra, Noto Soeroto juga aktif dalam pergelaran-pergelaran kebudayaan Jawa dan memberikan ceramahceramah.
Minatnya pada pelajarannya makin berkurang, dan pada sekitar tahun 1919 dia meninggalkan studinya pada Fakultas Hukum. Dia terjun sepenuhnya dalam bidang penerbitan: menulis dan menerbitkan. Kemudian dia juga aktif dalam politik, memperjuangkan kerjasama yang terus-menerus antara Indonesia dan Belanda; ini bertentangan dengan mayoritas mahasiswa Indonesia di Belanda yang bersikap lebih radikal. Noto Soeroto baru kembali pada tahun 1932, ketika usahanya, juga di Belanda, ternyata gagal.
Notokworo dan Gondowinoto tidak menjadi tokoh-tokoh masyarakat, tetapi termasuk juga pendahulu. Pada tahun 1918 Notokworo menjadi dokter Indonesia pertama yang dididik di Leiden, dan juga dokter Indonesia pertama dengan gelar Eropa yang tidak melewati School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia) di Batavia. Gondowinoto menyusul Noto Soeroto, dan pada tahun 1918 menjadi orang Indonesia pertama lulusan Fakultas Hukum Belanda. Pada tahun 1919 ia mendapat gelar doktor setelah mempertahankan sejumlah tesis; ini merupakan prosedur yang diperbolehkan sampai tahun 1921, dan banyak dimanfaatkan oleh mahasiswa-mahasiswa Hukum.
Noto Soeroto |
Notodirodjo dengan jelas melihat perlunya pendidikan Barat bagi generasi muda, tanpa membuang warisan budaya Jawa. Putranya bersekolah di sekolah lanjutan Belanda di Semarang dan mondok di rumah keluarga Belanda. Notokworo kemudian dikirim ke negeri Belanda, lalu diikuti oleh Noto Soeroto dan Gondowinoto. Mereka semua lulus ujian negara yang disyaratkan dan mendaftar di Leiden sebagai mahasiswa-mahasiswa kedokteran dan Hukum. Ini dilakukan Noto Soeroto pada tahun 1908, Gondowinoto pada tahun 191 o. Bersama seorang kakak lain yang berada di Delft, mereka mendiami sebuah rumah di Daguerrestraat di Den Haag.
Noto Soeroto segera aktif sebagai wartawan. Dengan tidak kenal menyerah dia memperjuangkan pengertian yang lebih baik antara Belanda dengan negara jajahannya, dan dengan sabar menjelaskan kepada masyarakat Belanda budaya dan adat rakyat Hindia Belanda. Mula-mula ini dilakukannya tanpa mengganggu pelajarannya; ia lulus ujian sarjana mudanya pada bulan Juni 1911, sebagai orang Indonesia pertama yang berhasil. Sesudah ini dia makin terlibat dengan kegiatan kewartawanannya.
Ketika pecah Perang Dunia Pertama dia dengan sukarela masuk dinas tentara Belanda. Dia mengikuti pendidikan perwira dan ditempatkan di perbatasan. Pada masa ini dia juga mulai menulis puisi. Sajak-sajaknya yang berbentuk prosa segera mendapat pengakuan. Karyanya diilhami oleh penyair dan filsuf Tagore, tetapi berlatar belakang kenangannya pada Jawa dan budaya Jawa. Puisi yang unik dan eksotik ini, yang begitu berbeda dari bentuk sastra Belanda lainnya, menarik perhatian banyak pengagum. Di samping giat di bidang sastra, Noto Soeroto juga aktif dalam pergelaran-pergelaran kebudayaan Jawa dan memberikan ceramahceramah.
Minatnya pada pelajarannya makin berkurang, dan pada sekitar tahun 1919 dia meninggalkan studinya pada Fakultas Hukum. Dia terjun sepenuhnya dalam bidang penerbitan: menulis dan menerbitkan. Kemudian dia juga aktif dalam politik, memperjuangkan kerjasama yang terus-menerus antara Indonesia dan Belanda; ini bertentangan dengan mayoritas mahasiswa Indonesia di Belanda yang bersikap lebih radikal. Noto Soeroto baru kembali pada tahun 1932, ketika usahanya, juga di Belanda, ternyata gagal.
Notokworo dan Gondowinoto tidak menjadi tokoh-tokoh masyarakat, tetapi termasuk juga pendahulu. Pada tahun 1918 Notokworo menjadi dokter Indonesia pertama yang dididik di Leiden, dan juga dokter Indonesia pertama dengan gelar Eropa yang tidak melewati School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia) di Batavia. Gondowinoto menyusul Noto Soeroto, dan pada tahun 1918 menjadi orang Indonesia pertama lulusan Fakultas Hukum Belanda. Pada tahun 1919 ia mendapat gelar doktor setelah mempertahankan sejumlah tesis; ini merupakan prosedur yang diperbolehkan sampai tahun 1921, dan banyak dimanfaatkan oleh mahasiswa-mahasiswa Hukum.
Pangeran Notodirodjo (Paku Alam VII) |