Orang-orang Indonesia yang datang ke Belanda untuk kuliah di pergurun tinggi semakin banyak. Putra dan kerabat raja dari Yogyakarta juga ada yang datang. Selain itu, ada juga mahasiswa yang mendapat dukungan Snouck Hurgronje hingga berhasil mendapatkan medali emas, yakni Raden Hoesein Djajadiningrat. Kisah mereka di Belanda diungkap oleh Harry A. Poeze
(Sejarawan dari Universitas Leiden) dalam buku yang diterbitkan
Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).
Putera Raja Paku Alam V
Raden Mas Ario Koesoema Joedha, putra seorang raja Pakoe Alam V, mendaftar kuliah di Universitas Leiden pada tahun 1902 untuk belajar indologi. Ketika berusia delapan tahun Raden Mas Ario Koesoema Joedha tiba di negeri Belanda bersama saudara sepupunya. Keduanya tinggal bersama satu keluarga Belanda di Nijmegen dan bersekolah di sekolah dasar dan gymnasium. Saudara sepupunya meninggal di sini. Koesoema Joedha lulus ujian matrikulasi dan melanjutkan ke bidang kedokteran di Amsterdam pada tahun 1900.
Namun, ketika ayahnya meninggal dan kemudian disusul oleh penggantinya, yaitu kakak Koesoema Joedha, akhirnya Raden Mas Ario Koesoema Joedha dipanggil pulang. Dia meninggalkan studinya di Amsterdam dan kembali ke Leiden untuk mengambil diploma "groot-ambtenaar" dalam waktu dua tahun. Kemudian ia kembali ke Indonesia dan memulai karier yang cemerlang, dan pada akhirnya ia diterima sebagai anggota Dewan Hindia Belanda, yang merupakan penasihat langsung Gubernur Jendral. Koesoema Joedha diterima dalam "jajaran kulit putih" dalam dinas sipil, tetapi hanya untuk setengah tahun. Dia kemudian dipindahkan ke Volkskredietwezen.
Mahasiswa Indonesia berikutnya adalah Raden Mas Sajogo. Dia belajar indologi, menempuh ujian pada waktunya dan segera kembali untuk memulai karier yang tidak mencolok dalam birokrasi kolonial. Ketika itu, ketiga mahasiswa Indonesia: Sosrokartono, Koesoema Joedha, dan Sajogo, tinggal bersama di Breestraat 95, di atas sebuah restoran vegetarian. Ketika kedua temannya pergi, Sosrokartono mendapat kawan lain, Raden Mas Notokworo, yang tiba pada September 1905 untuk belajar kedokteran. Pada hari yang sama Raden Hoesein Djajadiningrat mendaftarkan diri sebagai mahasiswa pada Fakultas Sastra. Hoesein telah memperoleh prasyarat diploma gymnasium di Leiden.,
Raden Hoesein Djajadiningrat dan Snouck Hurgronje
Sudah sejak di Batavia Snouck Hurgronje berusaha sekuat tenaganya untuk memberikan fasilitas bagi putra regent ini untuk belajar di negeri Belanda. Di Leiden Snouck Hurgronje melihat hasil usahanya. Hoesein membuktikan dirinya sebagai mahasiswa teladan di hadapan para guru dan mentornya, berbeda dari Sosrokartono yang keras kepala. Dapat dikatakan bahwa ia menjadi barang-pameran bagi para pendukung utama kebijakan Etik, yaitu kebijakan yang dengan gaya murah hati dan sikap paternalistik berupaya memajukan perkembangan Hindia Belanda di bawah pengawasan Belanda.
Sebagaimana halnya dengan kejadian sebelumnya, pertandingan berhadiah yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra jelas direncanakan untuk memberikan kesempatan kepada Hoesein untuk menang. Dewan pengajar minta suatu ulasan kritis mengenai sumber data dalam bahasa Melayu tentang sejarah Kesultanan Aceh. Hanya satu entri yang masuk dengan judul "Lust und Liebe zum Dinge macht Müh und Arbeit Geringe". Para pemeriksa memuji karya yang menunjukkan sifat kritis, metode yang jelas, dan susunan yang logis, tetapi menahan diri untuk memberikan komentar yang tinggi hati mengenai tulisan tangannya yang buruk, gaya bahasa yang acak-acakan, dan kesalahan penggunaan bahasa Belanda. Meskipun demikian, medali kehormatan emas diberikan kepada yang berhak di depan umum pada bulan September 1909. Dalam pidato perpisahannya pada kesempatan itu wakil rektor yang akan pensiun memberikan rekapitulasi mengenai jabatannya setahun itu. Di antara keempat pemenang medali emas hanya Hoesein yang disebutkan secara khusus.
Menurut wakil rektor, Hoesein adalah pemuda pribumi pertama yang dengan memenangkan medali emas, telah membuktikan dirinya setaraf dengan mahasiswa-mahasiswa Belanda. Ini memang sesuatu yang patut disyukuri. Hoesein dan teman-teman setanah airnya, yang makin banyak berdatangan di Belanda, kini terikat dengan ikatan intelektual kepada tanah airnya yang kedua. Ia berharap bahwa apabila Hoesein kembali kelak, pendidikannya akan berguna bagi kedua tanah airnya. Karya tulis Hoesein diterbitkan pada tahun 1910 sebagai artikel yang panjangnya 130 halaman, dalam buku bergengsi "Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indïè".
Hoesein menyelesaikan pendidikannya dengan pujian pada Oktober 1910. Ia kemudian mulai menulis disertasinya yang ia pertahankan pada 3 Mei 1913, berjudul "Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten; Bijdrage ter Kenschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving". Sekali lagi ia mendapatkan gelarnya dengan pujian. Dan sekali lagi wakil rektor mengucapkan beberapa kalimat pujian baginya. Ia berkata bahwa promosi ini juga sangat memuaskan Prof. Snouck Hurgronje, yang melalui pencapaian Hoesein dapat dengan lebih meyakinkan memperkuat dalih-dalihnya untuk memajukan pendidikan bagi kaum pribumi. Tak lama kemudian Hoesein kembali ke Indonesia dan membina karier yang gemilang dalam bidang administrasi kolonial dan dalam dunia ilmu pengetahuan.
Snouck Hurgronje |
Raden Mas Ario Koesoema Joedha, putra seorang raja Pakoe Alam V, mendaftar kuliah di Universitas Leiden pada tahun 1902 untuk belajar indologi. Ketika berusia delapan tahun Raden Mas Ario Koesoema Joedha tiba di negeri Belanda bersama saudara sepupunya. Keduanya tinggal bersama satu keluarga Belanda di Nijmegen dan bersekolah di sekolah dasar dan gymnasium. Saudara sepupunya meninggal di sini. Koesoema Joedha lulus ujian matrikulasi dan melanjutkan ke bidang kedokteran di Amsterdam pada tahun 1900.
Namun, ketika ayahnya meninggal dan kemudian disusul oleh penggantinya, yaitu kakak Koesoema Joedha, akhirnya Raden Mas Ario Koesoema Joedha dipanggil pulang. Dia meninggalkan studinya di Amsterdam dan kembali ke Leiden untuk mengambil diploma "groot-ambtenaar" dalam waktu dua tahun. Kemudian ia kembali ke Indonesia dan memulai karier yang cemerlang, dan pada akhirnya ia diterima sebagai anggota Dewan Hindia Belanda, yang merupakan penasihat langsung Gubernur Jendral. Koesoema Joedha diterima dalam "jajaran kulit putih" dalam dinas sipil, tetapi hanya untuk setengah tahun. Dia kemudian dipindahkan ke Volkskredietwezen.
Mahasiswa Indonesia berikutnya adalah Raden Mas Sajogo. Dia belajar indologi, menempuh ujian pada waktunya dan segera kembali untuk memulai karier yang tidak mencolok dalam birokrasi kolonial. Ketika itu, ketiga mahasiswa Indonesia: Sosrokartono, Koesoema Joedha, dan Sajogo, tinggal bersama di Breestraat 95, di atas sebuah restoran vegetarian. Ketika kedua temannya pergi, Sosrokartono mendapat kawan lain, Raden Mas Notokworo, yang tiba pada September 1905 untuk belajar kedokteran. Pada hari yang sama Raden Hoesein Djajadiningrat mendaftarkan diri sebagai mahasiswa pada Fakultas Sastra. Hoesein telah memperoleh prasyarat diploma gymnasium di Leiden.,
Raden Hoesein Djajadiningrat dan Snouck Hurgronje
Sudah sejak di Batavia Snouck Hurgronje berusaha sekuat tenaganya untuk memberikan fasilitas bagi putra regent ini untuk belajar di negeri Belanda. Di Leiden Snouck Hurgronje melihat hasil usahanya. Hoesein membuktikan dirinya sebagai mahasiswa teladan di hadapan para guru dan mentornya, berbeda dari Sosrokartono yang keras kepala. Dapat dikatakan bahwa ia menjadi barang-pameran bagi para pendukung utama kebijakan Etik, yaitu kebijakan yang dengan gaya murah hati dan sikap paternalistik berupaya memajukan perkembangan Hindia Belanda di bawah pengawasan Belanda.
Sebagaimana halnya dengan kejadian sebelumnya, pertandingan berhadiah yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra jelas direncanakan untuk memberikan kesempatan kepada Hoesein untuk menang. Dewan pengajar minta suatu ulasan kritis mengenai sumber data dalam bahasa Melayu tentang sejarah Kesultanan Aceh. Hanya satu entri yang masuk dengan judul "Lust und Liebe zum Dinge macht Müh und Arbeit Geringe". Para pemeriksa memuji karya yang menunjukkan sifat kritis, metode yang jelas, dan susunan yang logis, tetapi menahan diri untuk memberikan komentar yang tinggi hati mengenai tulisan tangannya yang buruk, gaya bahasa yang acak-acakan, dan kesalahan penggunaan bahasa Belanda. Meskipun demikian, medali kehormatan emas diberikan kepada yang berhak di depan umum pada bulan September 1909. Dalam pidato perpisahannya pada kesempatan itu wakil rektor yang akan pensiun memberikan rekapitulasi mengenai jabatannya setahun itu. Di antara keempat pemenang medali emas hanya Hoesein yang disebutkan secara khusus.
Menurut wakil rektor, Hoesein adalah pemuda pribumi pertama yang dengan memenangkan medali emas, telah membuktikan dirinya setaraf dengan mahasiswa-mahasiswa Belanda. Ini memang sesuatu yang patut disyukuri. Hoesein dan teman-teman setanah airnya, yang makin banyak berdatangan di Belanda, kini terikat dengan ikatan intelektual kepada tanah airnya yang kedua. Ia berharap bahwa apabila Hoesein kembali kelak, pendidikannya akan berguna bagi kedua tanah airnya. Karya tulis Hoesein diterbitkan pada tahun 1910 sebagai artikel yang panjangnya 130 halaman, dalam buku bergengsi "Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indïè".
Hoesein menyelesaikan pendidikannya dengan pujian pada Oktober 1910. Ia kemudian mulai menulis disertasinya yang ia pertahankan pada 3 Mei 1913, berjudul "Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten; Bijdrage ter Kenschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving". Sekali lagi ia mendapatkan gelarnya dengan pujian. Dan sekali lagi wakil rektor mengucapkan beberapa kalimat pujian baginya. Ia berkata bahwa promosi ini juga sangat memuaskan Prof. Snouck Hurgronje, yang melalui pencapaian Hoesein dapat dengan lebih meyakinkan memperkuat dalih-dalihnya untuk memajukan pendidikan bagi kaum pribumi. Tak lama kemudian Hoesein kembali ke Indonesia dan membina karier yang gemilang dalam bidang administrasi kolonial dan dalam dunia ilmu pengetahuan.
Patung Raden Hoesein Djajadiningrat di Leiden |