Di antara mahasiswa Indonesi yang kuliah di Belanda, ada kelompok mahasiswa yang cukup menonjol. Mereka adalah mahasiswa dari keturunan Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Kelompok mahasiswa dari kalangan bangsawan tersebut juga diungkap oleh Harry A. Poeze
(Sejarawan dari Universitas Leiden) dalam buku yang diterbitkan
Indoesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).
Dalam masyarakat Jawa tradisional , para penyandang gelar dari keraton sangat dihormati. Walaupun waktu itu gagasan-gagasan radikal sedang berkembang subur di negeri Belanda, para aristokrat ini tetap sangat dihormati dan selalu dimintai pendapatnya. Sebab itu, pengaruh mereka di antara para mahasiswa cukup besar. Kebanyakan dari mereka sudah pernah datang di negeri Belanda untuk belajar di sekolah lanjutan dan mondok di rumah keluarga Belanda. Kalau mereka berhasil, mereka kebanyakan memilih kuliah Hukum Hindia Belanda atau Indologi sebagai langkah berikutnya. Mereka tidak kekurangan biaya dan beberapa di antara mereka bahkan memanfaatkan kebebasannya dari kekangan keraton dan menikmati hidup sebagai mahasiswa.
Akan tetapi, di negeri Belanda pun mereka diamati dengan ketat. Secara teratur penasihat (Raadsman) mengirim laporan ke keraton dan pemerintah kolonial. Perilaku dan pandangan para mahasiswa ini sangat menentukan karier mereka kelak. Saran-saran' Pemerintah Belanda dapat membantu mereka mencapai kedudukan tinggi di keraton. Dari Keraton Sunan Solo, Djojokoesoemo, Hertog, dan Soerjolelono dikirim untuk belajar di Leiden, sedangkan empat putra Sultan Yogyakarta juga mendaftar. Mereka antara lain adalah Dorodjatoen, Tinggarto, dan Raisoelngaskari, yang kemudian dikenal sebagai Sultan Hamengkoe Boewono IX, Praboeningrat, dan Bintoro.
Ketika Perang Dunia II pecah pada bulan September 1939 para pangeran dari Solo dan Yogya dipanggil pulang oleh ayahanda mereka. Dengan demikian sebelas mahasiswa Indonesia terkemuka meninggalkan negeri Belanda tanpa menyelesaikan studinya. Dalam kelompok ini Dorodjatoen, tentu saja, menjadi yang paling terkenal. Sesudah Soerio Soeparto dia merupakan raja kedua yang memerintah yang belajar di Universitas Leiden. "Henk" Dorodjatoen mulai belajar indologi pada tahun 1934. Dia memperoleh ijazah B.A. pada tahun 1937. Dia dan saudara-saudaranya lebih banyak bergaul dengan mahasiswa Belanda dengan maksud agar bisa memperoleh pengetahuan sebaik mungkin tentang masyarakat Belanda. Mereka kurang terlibat dalam kegiatan-kegiatan Indonesia. Dorodjatoen kadang-kadang berbincang-bincang dengan Prijono, Maria Ullfah Achmad, Soeripno, atau Maroeto Daroesman, tetapi ia tidak pernah aktif di kalangan ini, berbeda dari mahasiswa-mahasiswa Solo dan Raisoelngaskari.
Orang Indonesia yang menjadi anggota LCS waktu itu hanyalah empat bersaudara ini dan Hertog. Dorodjatoen menjadi ketua gabungan persatuan mahasiswa selama satu tahun, ketua kelompok Hindia Belanda dalam LSC, dan kepala kelompok diskusi lain. Bahwa Dorodjatoen dan saudara-saudaranya selalu diawasi dengan ketat oleh para penguasa terbukti dari panggilan yang mereka terima dari Departemen Urusan Jajahan, sehari sesudah ia menghadiri pertemuan partai Sosialis-Nasional. Dia harus mempertanggungjawabkan tindakannya yang sebenarnya hanya dilakukan karena rasa ingin tahu saja. Pengawasan dilakukan secara tersembunyi sehingga Dorodjatoen sendiri tak pernah mengetahuinya.
Raisoelngaskari, yang kemudian dikenal sebagai Sultan Hamengkoe Boewono IX |
Akan tetapi, di negeri Belanda pun mereka diamati dengan ketat. Secara teratur penasihat (Raadsman) mengirim laporan ke keraton dan pemerintah kolonial. Perilaku dan pandangan para mahasiswa ini sangat menentukan karier mereka kelak. Saran-saran' Pemerintah Belanda dapat membantu mereka mencapai kedudukan tinggi di keraton. Dari Keraton Sunan Solo, Djojokoesoemo, Hertog, dan Soerjolelono dikirim untuk belajar di Leiden, sedangkan empat putra Sultan Yogyakarta juga mendaftar. Mereka antara lain adalah Dorodjatoen, Tinggarto, dan Raisoelngaskari, yang kemudian dikenal sebagai Sultan Hamengkoe Boewono IX, Praboeningrat, dan Bintoro.
Ketika Perang Dunia II pecah pada bulan September 1939 para pangeran dari Solo dan Yogya dipanggil pulang oleh ayahanda mereka. Dengan demikian sebelas mahasiswa Indonesia terkemuka meninggalkan negeri Belanda tanpa menyelesaikan studinya. Dalam kelompok ini Dorodjatoen, tentu saja, menjadi yang paling terkenal. Sesudah Soerio Soeparto dia merupakan raja kedua yang memerintah yang belajar di Universitas Leiden. "Henk" Dorodjatoen mulai belajar indologi pada tahun 1934. Dia memperoleh ijazah B.A. pada tahun 1937. Dia dan saudara-saudaranya lebih banyak bergaul dengan mahasiswa Belanda dengan maksud agar bisa memperoleh pengetahuan sebaik mungkin tentang masyarakat Belanda. Mereka kurang terlibat dalam kegiatan-kegiatan Indonesia. Dorodjatoen kadang-kadang berbincang-bincang dengan Prijono, Maria Ullfah Achmad, Soeripno, atau Maroeto Daroesman, tetapi ia tidak pernah aktif di kalangan ini, berbeda dari mahasiswa-mahasiswa Solo dan Raisoelngaskari.
Orang Indonesia yang menjadi anggota LCS waktu itu hanyalah empat bersaudara ini dan Hertog. Dorodjatoen menjadi ketua gabungan persatuan mahasiswa selama satu tahun, ketua kelompok Hindia Belanda dalam LSC, dan kepala kelompok diskusi lain. Bahwa Dorodjatoen dan saudara-saudaranya selalu diawasi dengan ketat oleh para penguasa terbukti dari panggilan yang mereka terima dari Departemen Urusan Jajahan, sehari sesudah ia menghadiri pertemuan partai Sosialis-Nasional. Dia harus mempertanggungjawabkan tindakannya yang sebenarnya hanya dilakukan karena rasa ingin tahu saja. Pengawasan dilakukan secara tersembunyi sehingga Dorodjatoen sendiri tak pernah mengetahuinya.