Perempuan Indonesia yang pertama belajar Hukum Hindia Belanda adalah gadis-gadis Jawa, yakni Siti Soendari dan Maria Ullfah Achmad. Keduanya berhasil lulus kuliah. Maria Ullfah Achmad akhirnya berhasil meraih jabatan menteri, sedang Siti Soendari menempuh karir di luar bidang hukum. Bagiamana kiprah Siti Soendari? Berikut ringkasan kisah hidup Siti Soendari, adik kandung Dr. Soetomo - pendiri organisasi pergerakan Boedi Oetomo.
Siti Soendari lahir 9 April 1906, di desa Ngepeh Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ayahnya bernama Raden Soewadji, seorang Wedana Maospati di Madiun. Ibunya bernama Raden Ayu Soedarmi. Ketika Siti Soendari lahir, kakak sulungnya (Soetomo) berusia 18 tahun. Siti Soendari sendiri adalah bungsu dari 7 bersaudara. Dalam sejarah pergerakan Indonesia, Soetomo dikenal sebagai pendiri organisasi Boedi Oetomo.Ayah Siti Soendari merupakan Wedana yang berani ‘bicara’ dan demokratis. Selain itu mempunyai sikap modern terhadap pendidikan. Pendidikan itu penting bukan saja bagi anak laki-laki tetapi juga bagi anak perempuan. Tak aneh, jika jika Siti Soendari juga diberi kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi. Soewadji selalu berkata: “ Anak perempuan juga harus belajar di bangku sekolah, karena perlu mendapat bekal pengetahuan dan ketrampilan supaya hidupnya bisa baik dan tidak tergantung pada suaminya”
Masa Kuliah di Universitas Leiden
Pada tahun 1927 Siti Soendari mulai kuliah di Universitas Leiden untuk studi di Fakultas Hukum. Dia tinggal di Volkerakstraat menyewa kamar di rumah keluarga Belanda. Ketiga saudara laki-laki, putra Wedana Soewadji, memilih bidang kedokteran/kedokteran hewan sebagai bidang studi mereka. Dua tahun kemudian Siti Soendari bergabung dengan Maria Ulfah, putri Bupati Achmad dari Kuningan, yang studi Fakultas Hukum di Leiden. Selain mereka berdua, masih ada seorang pemudi bernama Soegiarti yang mengikuti studi di kota Leiden untuk mendapat ijazah ‘hoofdacte’ seperti Sri Oemijati. Soegiarti kemudian menjadi nyonya Sutan Takdir Alisyahbana. Meski tidak tinggal di satu kamar di rumah tumpangan itu, banyak hal yang dilakukan bersama oleh Siti Soendari dan Maria Ulfah.
Peran Siti Soendari dalam Pergerakan
Selama kuliah di Belanda, Siti Soendari pernah menjadi anggota persatutan mahasiswa perempuan Universitas Leiden (Nederlandse Vereeniging voor Vrouwelijke Studenten Leiden atau VVSL) dan ikut dalam Perhimpoenan Indonesia (PI) yang juga mendukung emansipasi perempuan. Moh. Hatta sebagai ketua PI (1926-1930) pada bulan Juni 1927 menghadiri dan menyajikan makalah dalam pertemuan Liga Perempuan Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan (Ligue Internationale des Femmes pour la Paix et la Liberté) di Gland, Perancis.
Hubungan PI dengan Liga Internasional sejak awal erat dan terus berlanjut setelah PI dikenai sanksi oleh pemerintah Belanda terhadap kegiatan-kegiatannya. Pada tahun 1934 PI mengirimkan empat orang anggotanya yang perempuan (salah satunya adalah Siti Soendari) ke Paris untuk ikut serta dalam Kongres Perempuan Internasional Menentang Perang Imperialistis dan Fasisme (Internationaal Vrouwencongres tegen de imperialistische oorlog en het fascisme).
Saat kuliah di Belanda, Siti Soendari pernah menjalin hubungan dengan Prijono – yang kuliah di jurusan sastra di Universitas Leiden. Namun hubungan mereka gagal dan Prijono akhirnya berhasil menjabat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI 1959-1966. Soal pernikahan bukan menjadi keharusan bagi keluarga Soetomo. Sedang pendidikan dianggap jauh lebih penting. Jika salah seorang menunda pernikahannya atau tidak mau menikah karena menyelesaikan pendidikannya, tidak menjadi masalah.
Karir Kerja dan Pandangan Siti Soendari Soal Perempuan
Walau kuliah di bidang hukum, karir kerja Siti Soendari justru tak berkaitan langsung dengan bidang hukum. Awalnya Siti Soendari bekerja di Departemen Kesehatan Umum di Batavia. Kemudian pindah ke Volkscredietbank, pindah lagi menjadi Direktur Bank Nasional di Malang. Lalu sekembali dari Naarden, bekerja di Bank Rakyat Indonesia (BRI) di Jakarta dan mendirikan perpustakaan di BRI.
Menurut pendapat Siti Soendari, kaum perempuan sesungguhnya jauh lebih pintar dari laki-laki. Sayangnya, Siti Soendari sendiri tidak mempunyai anak perempuan. Siti Soendari juga berpendapat bahwa laki-laki Indonesia seringkali tidak bisa mengurus diri sendiri dan tergantung dari istri. Oleh karenanya kaum perempuan perlu bersekolah dan mempunyai pengetahuan umum luas, agar dapat melakukan fungsinya sebaik mungkin dalam keluarga.
Siti Soendari sangat menyetujui pandangan bahwa perempuan harus maju, berpendidikan, mampu bekerja dan berdiri sendiri. Namun tanggungjawab sebagai ibu hendaknya jangan dikalahkan oleh ambisi karir. Pandangan tentang perlunya memajukan perempuan itu ditirunya dari kakak-kakaknya. Kakak sulungnya, dr. Soetomo, adalah pembela perempuan. Dia membantu kegiatan pendidikan dari Poetri Boedi Sedjati di Surabaya yang didirikan oleh seorang perempuan bernama Siti Soendari Soedirman; Soetomo aktif dalam klub R.A. Kartini yang didirikan oleh dr. Tjipto Mangoenkoesomo di Malang; bahkan juga mendidik ‘perempuan sesat’, serta menyekolahkan adik-adik perempuannya setinggi mungkin.
Kakak perempuan Siti Soendari yang terdekat, Sri Oemijati, membantu kaum perempuan Indonesia dengan mengajar di sekolah-sekolah untuk perempuan (Meisjesschool ) di beberapa kota serta menjadi Kepala Sekolah Kartini di Cirebon dan Kepala Sekolah Guru Puteri di Yogyakarta. Mantan murid-murid Sri Oemijati banyak yang kemudian menjadi tokoh masyarakat, antara lain Enny Sudharmono, istri mantan Wakil Presiden RI Sudharmono dan ibu Titi Supratignyo, ahli pendidikan, dosen di IKIP Semarang.
Siti Soendari Enggan Menonjolkan Diri
Ketika riwayat hidupnya hendak ditulis dalam buku oleh putra sulung dan menantunya (Santo Koesoebjono, Solita Koesoebjono-Sarwono), Siti Soendari susah diwawancarai. Wataknya memang tidak mau menonjolkan diri dan malu dijadikan pusat perhatian. Karena itu, proses wawancara dalam penulisan buku Siti Soendari akhirnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan catatannya dibuat bertahap sedikit demi sedikit.
Dalam buku: "Siti Soendari, adik bungsu dr. Soetomo" yang ditulis oleh putra sulung dan menantunya, Siti Soendari digambarkan sebagai adalah sosok perempuan yang teguh dalam memegang prinsip, meskipun tetap bersikap halus dan lemah lembut kepada anak-anaknya serta dalam pergaulannya selama tinggal di negeri Belanda. Siti Soendari senantiasa hadir sebagai ibu yang hangat, menebarkan butir-butir nasihat, mengajarkan perilaku dan amanat, dan hal tersebut seolah merupakan telaga kasih sayang yang tak pernah kering. Siti Soendari merupakan pribadi ibu yang mengagumkan. Mementingkan perhatiannya terhadap keluarga, bersikap ‘kritis’ terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya dan semangat yang tidak kenal menyerah menjadi teladan bagi anak-anaknya.
Siti Soendari lahir 9 April 1906, di desa Ngepeh Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ayahnya bernama Raden Soewadji, seorang Wedana Maospati di Madiun. Ibunya bernama Raden Ayu Soedarmi. Ketika Siti Soendari lahir, kakak sulungnya (Soetomo) berusia 18 tahun. Siti Soendari sendiri adalah bungsu dari 7 bersaudara. Dalam sejarah pergerakan Indonesia, Soetomo dikenal sebagai pendiri organisasi Boedi Oetomo.Ayah Siti Soendari merupakan Wedana yang berani ‘bicara’ dan demokratis. Selain itu mempunyai sikap modern terhadap pendidikan. Pendidikan itu penting bukan saja bagi anak laki-laki tetapi juga bagi anak perempuan. Tak aneh, jika jika Siti Soendari juga diberi kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi. Soewadji selalu berkata: “ Anak perempuan juga harus belajar di bangku sekolah, karena perlu mendapat bekal pengetahuan dan ketrampilan supaya hidupnya bisa baik dan tidak tergantung pada suaminya”
Masa Kuliah di Universitas Leiden
Pada tahun 1927 Siti Soendari mulai kuliah di Universitas Leiden untuk studi di Fakultas Hukum. Dia tinggal di Volkerakstraat menyewa kamar di rumah keluarga Belanda. Ketiga saudara laki-laki, putra Wedana Soewadji, memilih bidang kedokteran/kedokteran hewan sebagai bidang studi mereka. Dua tahun kemudian Siti Soendari bergabung dengan Maria Ulfah, putri Bupati Achmad dari Kuningan, yang studi Fakultas Hukum di Leiden. Selain mereka berdua, masih ada seorang pemudi bernama Soegiarti yang mengikuti studi di kota Leiden untuk mendapat ijazah ‘hoofdacte’ seperti Sri Oemijati. Soegiarti kemudian menjadi nyonya Sutan Takdir Alisyahbana. Meski tidak tinggal di satu kamar di rumah tumpangan itu, banyak hal yang dilakukan bersama oleh Siti Soendari dan Maria Ulfah.
Peran Siti Soendari dalam Pergerakan
Selama kuliah di Belanda, Siti Soendari pernah menjadi anggota persatutan mahasiswa perempuan Universitas Leiden (Nederlandse Vereeniging voor Vrouwelijke Studenten Leiden atau VVSL) dan ikut dalam Perhimpoenan Indonesia (PI) yang juga mendukung emansipasi perempuan. Moh. Hatta sebagai ketua PI (1926-1930) pada bulan Juni 1927 menghadiri dan menyajikan makalah dalam pertemuan Liga Perempuan Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan (Ligue Internationale des Femmes pour la Paix et la Liberté) di Gland, Perancis.
Hubungan PI dengan Liga Internasional sejak awal erat dan terus berlanjut setelah PI dikenai sanksi oleh pemerintah Belanda terhadap kegiatan-kegiatannya. Pada tahun 1934 PI mengirimkan empat orang anggotanya yang perempuan (salah satunya adalah Siti Soendari) ke Paris untuk ikut serta dalam Kongres Perempuan Internasional Menentang Perang Imperialistis dan Fasisme (Internationaal Vrouwencongres tegen de imperialistische oorlog en het fascisme).
Saat kuliah di Belanda, Siti Soendari pernah menjalin hubungan dengan Prijono – yang kuliah di jurusan sastra di Universitas Leiden. Namun hubungan mereka gagal dan Prijono akhirnya berhasil menjabat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI 1959-1966. Soal pernikahan bukan menjadi keharusan bagi keluarga Soetomo. Sedang pendidikan dianggap jauh lebih penting. Jika salah seorang menunda pernikahannya atau tidak mau menikah karena menyelesaikan pendidikannya, tidak menjadi masalah.
Karir Kerja dan Pandangan Siti Soendari Soal Perempuan
Walau kuliah di bidang hukum, karir kerja Siti Soendari justru tak berkaitan langsung dengan bidang hukum. Awalnya Siti Soendari bekerja di Departemen Kesehatan Umum di Batavia. Kemudian pindah ke Volkscredietbank, pindah lagi menjadi Direktur Bank Nasional di Malang. Lalu sekembali dari Naarden, bekerja di Bank Rakyat Indonesia (BRI) di Jakarta dan mendirikan perpustakaan di BRI.
Menurut pendapat Siti Soendari, kaum perempuan sesungguhnya jauh lebih pintar dari laki-laki. Sayangnya, Siti Soendari sendiri tidak mempunyai anak perempuan. Siti Soendari juga berpendapat bahwa laki-laki Indonesia seringkali tidak bisa mengurus diri sendiri dan tergantung dari istri. Oleh karenanya kaum perempuan perlu bersekolah dan mempunyai pengetahuan umum luas, agar dapat melakukan fungsinya sebaik mungkin dalam keluarga.
Siti Soendari sangat menyetujui pandangan bahwa perempuan harus maju, berpendidikan, mampu bekerja dan berdiri sendiri. Namun tanggungjawab sebagai ibu hendaknya jangan dikalahkan oleh ambisi karir. Pandangan tentang perlunya memajukan perempuan itu ditirunya dari kakak-kakaknya. Kakak sulungnya, dr. Soetomo, adalah pembela perempuan. Dia membantu kegiatan pendidikan dari Poetri Boedi Sedjati di Surabaya yang didirikan oleh seorang perempuan bernama Siti Soendari Soedirman; Soetomo aktif dalam klub R.A. Kartini yang didirikan oleh dr. Tjipto Mangoenkoesomo di Malang; bahkan juga mendidik ‘perempuan sesat’, serta menyekolahkan adik-adik perempuannya setinggi mungkin.
Kakak perempuan Siti Soendari yang terdekat, Sri Oemijati, membantu kaum perempuan Indonesia dengan mengajar di sekolah-sekolah untuk perempuan (Meisjesschool ) di beberapa kota serta menjadi Kepala Sekolah Kartini di Cirebon dan Kepala Sekolah Guru Puteri di Yogyakarta. Mantan murid-murid Sri Oemijati banyak yang kemudian menjadi tokoh masyarakat, antara lain Enny Sudharmono, istri mantan Wakil Presiden RI Sudharmono dan ibu Titi Supratignyo, ahli pendidikan, dosen di IKIP Semarang.
Siti Soendari Enggan Menonjolkan Diri
Ketika riwayat hidupnya hendak ditulis dalam buku oleh putra sulung dan menantunya (Santo Koesoebjono, Solita Koesoebjono-Sarwono), Siti Soendari susah diwawancarai. Wataknya memang tidak mau menonjolkan diri dan malu dijadikan pusat perhatian. Karena itu, proses wawancara dalam penulisan buku Siti Soendari akhirnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan catatannya dibuat bertahap sedikit demi sedikit.
Dalam buku: "Siti Soendari, adik bungsu dr. Soetomo" yang ditulis oleh putra sulung dan menantunya, Siti Soendari digambarkan sebagai adalah sosok perempuan yang teguh dalam memegang prinsip, meskipun tetap bersikap halus dan lemah lembut kepada anak-anaknya serta dalam pergaulannya selama tinggal di negeri Belanda. Siti Soendari senantiasa hadir sebagai ibu yang hangat, menebarkan butir-butir nasihat, mengajarkan perilaku dan amanat, dan hal tersebut seolah merupakan telaga kasih sayang yang tak pernah kering. Siti Soendari merupakan pribadi ibu yang mengagumkan. Mementingkan perhatiannya terhadap keluarga, bersikap ‘kritis’ terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya dan semangat yang tidak kenal menyerah menjadi teladan bagi anak-anaknya.