Prestasi mahasiswa Indonesia di Belanda dekade 1930-an hingga 1940-an tidak secemerlang mahasiswa dekade 1920-an. Situasi perang pada dekade 1930-an - 1940-an tampaknya punya pengaruh besar. Kendati demikian, ada sejumlah mahasiswa yang berhasil berprestasi. Di antarnya adalah dua ahli hukum perempuan, yakni Maria Ullfah Achmad dan Siti Soendari. Perkembangan mahasiswa Indonesia di Belanda itu diungkap oleh Harry A. Poeze
(Sejarawan dari Universitas Leiden) dalam buku yang diterbitkan
Indoesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).
Sampai tahun 1938, mahasiswa-mahasiswa kedokteran yang belajar di Leiden tanpa melalui pendidikan kedokteran sebelumnya, jumlahnya lebih sedikit daripada rekan-rekannya yang berasal dari Stovia. Kebanyakan dari mereka belum selesai studinya ketika universitasnya ditutup pada bulan November 1941. Dalam situasi perang banyak hal yang lebih merisaukan daripada menyelesaikan studi. Seusai perang beberapa melanjutkan pelajarannya; beberapa lainnya pulang ke Indonesia pada kesempatan pertama, ada pula yang meninggal dalam masa perang atau sakit parah dan memerlukan masa pemulihan kesehatan yang lama.
Prestasi mahasiswa hukum tidak secemerlang tahun dua puluhan. Hanya sekitar enam puluh persen menyelesaikan studinya. Harry A. Poeze menyebutkan ada beberapa kemungkinan penyebabnya. Mahasiswa wanita tidak lagi merupakan hal yang langka. Setelah Ida Lamongga Haroen Al Rasjid, 16 wanita Indonesia mengikuti jejaknya. Sebagian besar di antara mereka adalah gadis-gadis Menado dan Maluku; bukti bahwa emansipasi telah menjangkau daerah-daerah ini.
Yang pertama belajar Hukum Hindia Belanda adalah gadis-gadis Jawa, Siti Soendari dan Maria Ullfah Achmad. Keduanya dari keluarga bangsawan. Tiga saudara lelaki dan dua saudara perempuan Siti Soendari sudah berada di negeri Belanda untuk studi, meskipun tidak di Leiden. Maria Ullfah, puteri regent Kuningan, datang di Belanda pada tahun 1929 bersama ayah, adik lelaki, dan adik perempuannya. Ayahnya ditugasi oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menulis laporan mengenai koperasi. Di Leiden Maria tinggal sekamar dengan Siti Soendari yang mendaftarkan diri pada tahun 1927. Kedua gadis ini tidak melibatkan diri dalam politik tetapi kehidupan di negeri Belanda membuka mata mereka terhadap kepincangan yang ada di tanah air yang dijajah.
Maria Ullfah merupakan wanita Indonesia pertama yang menjadi ahli hukum. Siti Soendari menyusul tahun berikutnya. Saudara lelaki dan saudara perempuan Maria Ullfah juga mempelajari hukum Hindia Belanda di Leiden. Ada seorang mahasiswa wanita yang mengalami nasib tragis dan patut disebutkan di sini. Pinkan Supit dari Minahasa telah belajar hukum Hindia Belanda sejak 1931. Setelah menempuh ujian sarjananya ia terkena suatu penyakit urat syaraf dan harus dirawat di rumah sakit jiwa. Ternyata penyakitnya tidak bisa disembuhkan dan, setelah satu tahun, orang tuanya pergi ke negeri Belanda untuk membawanya pulang. Pada tahun tiga puluhan itu ada sepuluh gadis Cina di negeri Belanda, tujuh belajar Hukum Hindia Belanda, tiga belajar Farmasi.
Keberhasilan Maria Ullfah
Dari sekian banyak perempuan yang kuliah di Belanda,Maria Ullfah Achmad dipandang berhasil. Maria Ulfah inilah yang mengoperasionalkan gagasan-gagasan RA Kartini, tokoh emansipasi perempuan Indonesia. Dia bukan hanya berhasil dalam rangka mengenyam pendidikan, tapi juga dalam aktualitas publiknya. Selain menjadi perempuan Indonesia pertama peraih gelar Masteer (sarjana hukum), Maria Ulfah juga menjadi perempuan pertama yang menjabat menteri di kabinet pemerintahan RI sekaligus Menteri Sosial RI pertama.
Di Belanda, Maria Ulfah menjadi anggota perhimpunan mahasiswa Leiden, Vereeniging van Vrouwelijke Studenten Leiden (VVSL). Di sinilah tonggak perubahan sikapnya. Keinginan ikut serta dalam gerakan emansipasi kaum perempuan berubah menjadi perjuangan menuju emansipasi dan kemerdekaan bagi seluruh bangsa Indonesia: kaum laki-laki dan perempuan sekaligus. Pada masa ini, tokoh-tokoh nasional kerap dijumpai. Di Belanda pula, Maria Ulfah mengenal Soetan Sjahrir. Pemuda yang satu ini banyak memberi pengaruh secara ideologis kepadanya. Maria memang terlibat aktif dalam organisasi sosialis di Belanda. Maria pernah meminjam buku karangan seorang gadis pengikut Mao Zedong kepada Jef Last, seorang aktivis sosialis yang ditemuinya di Hogewoerd, Leiden. Maria Ulfah juga membaca buku pembelaan Indonesie klaagt aan (Indonesia Menggugat). Bersama Sjahrirlah, Maria Ulfah mengikuti rapat-rapat politik dan kemampuan dan ketangguhannya berpolitik tertempa.
Ketika Sjahrir merencanakan akan membuat wisma buruh seperti di Belanda saat nanti kembali ke Indonesia, ide ini paralel dengan keinginan Maria Ulfah yang hendak mengangkat derajat perempuan. Maria pun kembali ke tanah air. Beliau langsung terjun dalam politik pergerakan kemerdekaan. Pada zaman pemerintah pendudukan Jepang, beliau dan rekan-rekannya bergabung dalam organisasi Poetera. Menurut laporan dari Koran Asia Raja tertanggal 17 April 1943, Pengurus Besar Istri Indonesia di bawah pimpinan Mr. Maria Ulfah Santoso dan Ny. Jusupadi Danudiningrat di Jakarta menyatakan bergabung dengan organisasi Poetera (Poesat Tenaga Rakjat).
Dalam detik-detik pendirian Republik Indonesia, Maria Ulfah turut ambil bagian dalam menyusun konstitusi Republik Indonesia. Beliau seonggok perempuan dari segelintir orang Indonesia yang menjadi anggota Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Dalam proses perumusan terakhir dasar negara (Pancasila dengan sila kesatu masih ditambah 7 kata) yang dilakukan pada persidangan kedua mulai 10 Juli 1945 itu dibahas rencana UUD, termasuk soal pembukaan atau preambule-nya oleh sebuah Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Panitia ini diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota-anggota lainnya seperti Agus Salim, Supomo, Wachid Hasjim, Husein Djajadiningrat, Sukiman, termasuk Mr. Maria Ulfah, dan lain-lain. Pada rapat 11 Juli 1945, Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dengan suara bulat menyetujui isi preambule yang diambil dari Piagam Jakarta. Maria Ulfah merupakan satu figur yang fotonya terpampang di Gedung Perundingan Linggarjati. Peran Maria Ulfah adalah mengusulkan kepada Sjahrir. agar Linggarjati dijadikan sebagai tempat perundingan.
Maria Ullfah Achmad |
Sampai tahun 1938, mahasiswa-mahasiswa kedokteran yang belajar di Leiden tanpa melalui pendidikan kedokteran sebelumnya, jumlahnya lebih sedikit daripada rekan-rekannya yang berasal dari Stovia. Kebanyakan dari mereka belum selesai studinya ketika universitasnya ditutup pada bulan November 1941. Dalam situasi perang banyak hal yang lebih merisaukan daripada menyelesaikan studi. Seusai perang beberapa melanjutkan pelajarannya; beberapa lainnya pulang ke Indonesia pada kesempatan pertama, ada pula yang meninggal dalam masa perang atau sakit parah dan memerlukan masa pemulihan kesehatan yang lama.
Prestasi mahasiswa hukum tidak secemerlang tahun dua puluhan. Hanya sekitar enam puluh persen menyelesaikan studinya. Harry A. Poeze menyebutkan ada beberapa kemungkinan penyebabnya. Mahasiswa wanita tidak lagi merupakan hal yang langka. Setelah Ida Lamongga Haroen Al Rasjid, 16 wanita Indonesia mengikuti jejaknya. Sebagian besar di antara mereka adalah gadis-gadis Menado dan Maluku; bukti bahwa emansipasi telah menjangkau daerah-daerah ini.
Yang pertama belajar Hukum Hindia Belanda adalah gadis-gadis Jawa, Siti Soendari dan Maria Ullfah Achmad. Keduanya dari keluarga bangsawan. Tiga saudara lelaki dan dua saudara perempuan Siti Soendari sudah berada di negeri Belanda untuk studi, meskipun tidak di Leiden. Maria Ullfah, puteri regent Kuningan, datang di Belanda pada tahun 1929 bersama ayah, adik lelaki, dan adik perempuannya. Ayahnya ditugasi oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menulis laporan mengenai koperasi. Di Leiden Maria tinggal sekamar dengan Siti Soendari yang mendaftarkan diri pada tahun 1927. Kedua gadis ini tidak melibatkan diri dalam politik tetapi kehidupan di negeri Belanda membuka mata mereka terhadap kepincangan yang ada di tanah air yang dijajah.
Maria Ullfah merupakan wanita Indonesia pertama yang menjadi ahli hukum. Siti Soendari menyusul tahun berikutnya. Saudara lelaki dan saudara perempuan Maria Ullfah juga mempelajari hukum Hindia Belanda di Leiden. Ada seorang mahasiswa wanita yang mengalami nasib tragis dan patut disebutkan di sini. Pinkan Supit dari Minahasa telah belajar hukum Hindia Belanda sejak 1931. Setelah menempuh ujian sarjananya ia terkena suatu penyakit urat syaraf dan harus dirawat di rumah sakit jiwa. Ternyata penyakitnya tidak bisa disembuhkan dan, setelah satu tahun, orang tuanya pergi ke negeri Belanda untuk membawanya pulang. Pada tahun tiga puluhan itu ada sepuluh gadis Cina di negeri Belanda, tujuh belajar Hukum Hindia Belanda, tiga belajar Farmasi.
Keberhasilan Maria Ullfah
Dari sekian banyak perempuan yang kuliah di Belanda,Maria Ullfah Achmad dipandang berhasil. Maria Ulfah inilah yang mengoperasionalkan gagasan-gagasan RA Kartini, tokoh emansipasi perempuan Indonesia. Dia bukan hanya berhasil dalam rangka mengenyam pendidikan, tapi juga dalam aktualitas publiknya. Selain menjadi perempuan Indonesia pertama peraih gelar Masteer (sarjana hukum), Maria Ulfah juga menjadi perempuan pertama yang menjabat menteri di kabinet pemerintahan RI sekaligus Menteri Sosial RI pertama.
Di Belanda, Maria Ulfah menjadi anggota perhimpunan mahasiswa Leiden, Vereeniging van Vrouwelijke Studenten Leiden (VVSL). Di sinilah tonggak perubahan sikapnya. Keinginan ikut serta dalam gerakan emansipasi kaum perempuan berubah menjadi perjuangan menuju emansipasi dan kemerdekaan bagi seluruh bangsa Indonesia: kaum laki-laki dan perempuan sekaligus. Pada masa ini, tokoh-tokoh nasional kerap dijumpai. Di Belanda pula, Maria Ulfah mengenal Soetan Sjahrir. Pemuda yang satu ini banyak memberi pengaruh secara ideologis kepadanya. Maria memang terlibat aktif dalam organisasi sosialis di Belanda. Maria pernah meminjam buku karangan seorang gadis pengikut Mao Zedong kepada Jef Last, seorang aktivis sosialis yang ditemuinya di Hogewoerd, Leiden. Maria Ulfah juga membaca buku pembelaan Indonesie klaagt aan (Indonesia Menggugat). Bersama Sjahrirlah, Maria Ulfah mengikuti rapat-rapat politik dan kemampuan dan ketangguhannya berpolitik tertempa.
Ketika Sjahrir merencanakan akan membuat wisma buruh seperti di Belanda saat nanti kembali ke Indonesia, ide ini paralel dengan keinginan Maria Ulfah yang hendak mengangkat derajat perempuan. Maria pun kembali ke tanah air. Beliau langsung terjun dalam politik pergerakan kemerdekaan. Pada zaman pemerintah pendudukan Jepang, beliau dan rekan-rekannya bergabung dalam organisasi Poetera. Menurut laporan dari Koran Asia Raja tertanggal 17 April 1943, Pengurus Besar Istri Indonesia di bawah pimpinan Mr. Maria Ulfah Santoso dan Ny. Jusupadi Danudiningrat di Jakarta menyatakan bergabung dengan organisasi Poetera (Poesat Tenaga Rakjat).
Dalam detik-detik pendirian Republik Indonesia, Maria Ulfah turut ambil bagian dalam menyusun konstitusi Republik Indonesia. Beliau seonggok perempuan dari segelintir orang Indonesia yang menjadi anggota Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Dalam proses perumusan terakhir dasar negara (Pancasila dengan sila kesatu masih ditambah 7 kata) yang dilakukan pada persidangan kedua mulai 10 Juli 1945 itu dibahas rencana UUD, termasuk soal pembukaan atau preambule-nya oleh sebuah Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Panitia ini diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota-anggota lainnya seperti Agus Salim, Supomo, Wachid Hasjim, Husein Djajadiningrat, Sukiman, termasuk Mr. Maria Ulfah, dan lain-lain. Pada rapat 11 Juli 1945, Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dengan suara bulat menyetujui isi preambule yang diambil dari Piagam Jakarta. Maria Ulfah merupakan satu figur yang fotonya terpampang di Gedung Perundingan Linggarjati. Peran Maria Ulfah adalah mengusulkan kepada Sjahrir. agar Linggarjati dijadikan sebagai tempat perundingan.
Karir
Awal karirnya Siti Soendari bekerja pada Departemen Kesehatan Umum di
Batavia, lalu pindah ke Volkscredietbank, kemudian menjadi Direktur Bank
Nasional di Malang. Lalu sekembali dari Naarden, bekerja di Bank Rakyat
Indonesia di Jakarta dan mendirikan perpustakaan di bank tersebut.
Siti Soendari sendiri tidak begitu paham mengapa dia diterima bekerja di
bidang-bidang yang tidak langsung berkaitan dengan ilmu yang
dipelajarinya di Leiden. Yang jelas, keberhasilannya dalam pendidikan
memberikan peluang bagi Siti Soendari untuk mencari nafkah, berdiri
sendiri, dan lebih penting lagi: untuk menghidupi keluarganya setelah
menjanda. Kemandirian itulah yang sebetulnya diinginkan ayahanda
Soewadji bagi anak-anak perempuannya.
Masa Lanjut Usia
Pada bab keenam, diceritakan pula selera humor Siti Soendari yang tinggi
meskipun sudah lanjut usia. Sebagai misal ketika pada tahun 1991 Prof.
J. D. Speckmann, gurubesar Universitas Leiden pernah datang berkunjung
ke rumah Siti Soendari. Prof. Speckmann sangat kagum mendengarkan Siti
Soendari fasih berbicara bahasa Belanda dan daya ingatnya masih sangat
tajam pada usia di atas 80 tahun. Diberinya pujian dan ditanyakan
bagaimana Siti Soendari yang sudah lanjut usia itu masih fasih berbahasa
Belanda di negara yang tidak lagi menggunakan bahasa tersebut. Dengan
tersenyum manis, Siti Soendari menanyakan (dalam bahasa Belanda): “Maaf,
Profesor, berapakah umur anda?” Jawab: “ 63 tahun”. Masih dengan
tersenyum, Siti Soendari menyatakan: “Waktu anda lahir, saya sudah lama
berbahasa Belanda”.
Sebenarnya penulis buku ini yang tak lain adalah putra sulung dan juga
menantu Siti Soendari. Pernah putra sulungnya menanyakan riwayat hidup
Siti Soendari dalam pertemuan-pertemuan di tahun 1990-an. Tetapi sesuai
dengan wataknya yang tidak mau menonjolkan diri dan malu dijadikan pusat
perhatian, Siti Soendari tidak senang diwawancara. Ketika dilihat putra
sulungnya membuat catatan di buku kecilnya, sang ibu langsung menegur:
“Hayo, arep kowe tulis to? Emoh aku.” (Hayo, mau kamu tulis bukan? Tak
mau aku). Terpaksa tanya jawab dengan ibundanya dibuat secara tidak
teratur, sedikit demi sedikit, dan catatannya dibuat secara
sembunyi-sembunyi. Memang jika ada wartawan yang akan mewawancarai Siti
Soendari sebagai adik Soetomo, biasanya dia selalu melakukannya berdua
dengan Sri Oemijati yang akan menjawab hampir semua pertanyaan.
Siti Soendari hanya menambahkan sedikit keterangan di sana-sini. Kecuali
ketika diminta oleh Gadis Rasyid untuk menceritakan tentang
kehidupannya bersama Maria Ulfah guna mengisi buku ‘Maria Ulfah Subadio,
Pembela Kaumnya’. Siti Soendari melaksanakan sendiri wawancara
tersebut.
Sebagai seorang ibu, Siti Soendari adalah sosok perempuan yang teguh
dalam memegang prinsip, meskipun tetap bersikap halus dan lemah lembut
kepada anak-anaknya serta dalam pergaulannya selama tinggal di negeri
Belanda. Siti Soendari senantiasa hadir sebagai ibu yang hangat,
menebarkan butir-butir nasihat, mengajarkan perilaku dan amanat, dan hal
tersebut seolah merupakan telaga kasih sayang yang tak pernah kering.
Siti Soendari merupakan pribadi ibu yang mengagumkan. Mementingkan
perhatiannya terhadap keluarga, bersikap ‘kritis’ terhadap apa yang
terjadi di sekelilingnya dan semangat yang tidak kenal menyerah menjadi
teladan bagi anak-anaknya.
Buku ini mendapat kata pengantar dari bapak Doktor Harry A. Poeze, yang
dapat menggambarkan secara rinci kehidupan orang-orang Indonesia di
Negeri Belanda dalam saat periode tersebut. Juga menjadi referensi
sederhana dari sekian banyak tentang wacana perempuan Indonesia.
Sepertinya buku ini dapat melengkapi referensi dari sekian banyak
referensi tentang dr. Soetomo.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/masadi_wiria/mengintip-perjalanan-seorang-ibu-dari-sebuah-buku_5500aa37a333115d6f511b4a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/masadi_wiria/mengintip-perjalanan-seorang-ibu-dari-sebuah-buku_5500aa37a333115d6f511b4a
Awal karirnya Siti
Soendari bekerja pada Departemen Kesehatan Umum di Batavia, lalu pindah
ke Volkscredietbank, kemudian menjadi Direktur Bank Nasional di Malang.
Lalu sekembali dari Naarden, bekerja di Bank Rakyat Indonesia di Jakarta
dan mendirikan perpustakaan di bank tersebut.
Siti Soendari sendiri tidak begitu paham mengapa dia diterima bekerja di
bidang-bidang yang tidak langsung berkaitan dengan ilmu yang
dipelajarinya di Leiden. Yang jelas, keberhasilannya dalam pendidikan
memberikan peluang bagi Siti Soendari untuk mencari nafkah, berdiri
sendiri, dan lebih penting lagi: untuk menghidupi keluarganya setelah
menjanda. Kemandirian itulah yang sebetulnya diinginkan ayahanda
Soewadji bagi anak-anak perempuannya.
Masa Lanjut Usia
Pada bab keenam, diceritakan pula selera humor Siti Soendari yang tinggi
meskipun sudah lanjut usia. Sebagai misal ketika pada tahun 1991 Prof.
J. D. Speckmann, gurubesar Universitas Leiden pernah datang berkunjung
ke rumah Siti Soendari. Prof. Speckmann sangat kagum mendengarkan Siti
Soendari fasih berbicara bahasa Belanda dan daya ingatnya masih sangat
tajam pada usia di atas 80 tahun. Diberinya pujian dan ditanyakan
bagaimana Siti Soendari yang sudah lanjut usia itu masih fasih berbahasa
Belanda di negara yang tidak lagi menggunakan bahasa tersebut. Dengan
tersenyum manis, Siti Soendari menanyakan (dalam bahasa Belanda): “Maaf,
Profesor, berapakah umur anda?” Jawab: “ 63 tahun”. Masih dengan
tersenyum, Siti Soendari menyatakan: “Waktu anda lahir, saya sudah lama
berbahasa Belanda”.
Sebenarnya penulis buku ini yang tak lain adalah putra sulung dan juga
menantu Siti Soendari. Pernah putra sulungnya menanyakan riwayat hidup
Siti Soendari dalam pertemuan-pertemuan di tahun 1990-an. Tetapi sesuai
dengan wataknya yang tidak mau menonjolkan diri dan malu dijadikan pusat
perhatian, Siti Soendari tidak senang diwawancara. Ketika dilihat putra
sulungnya membuat catatan di buku kecilnya, sang ibu langsung menegur:
“Hayo, arep kowe tulis to? Emoh aku.” (Hayo, mau kamu tulis bukan? Tak
mau aku). Terpaksa tanya jawab dengan ibundanya dibuat secara tidak
teratur, sedikit demi sedikit, dan catatannya dibuat secara
sembunyi-sembunyi. Memang jika ada wartawan yang akan mewawancarai Siti
Soendari sebagai adik Soetomo, biasanya dia selalu melakukannya berdua
dengan Sri Oemijati yang akan menjawab hampir semua pertanyaan.
Siti Soendari hanya menambahkan sedikit keterangan di sana-sini. Kecuali
ketika diminta oleh Gadis Rasyid untuk menceritakan tentang
kehidupannya bersama Maria Ulfah guna mengisi buku ‘Maria Ulfah Subadio,
Pembela Kaumnya’. Siti Soendari melaksanakan sendiri wawancara
tersebut.
Sebagai seorang ibu, Siti Soendari adalah sosok perempuan yang teguh
dalam memegang prinsip, meskipun tetap bersikap halus dan lemah lembut
kepada anak-anaknya serta dalam pergaulannya selama tinggal di negeri
Belanda. Siti Soendari senantiasa hadir sebagai ibu yang hangat,
menebarkan butir-butir nasihat, mengajarkan perilaku dan amanat, dan hal
tersebut seolah merupakan telaga kasih sayang yang tak pernah kering.
Siti Soendari merupakan pribadi ibu yang mengagumkan. Mementingkan
perhatiannya terhadap keluarga, bersikap ‘kritis’ terhadap apa yang
terjadi di sekelilingnya dan semangat yang tidak kenal menyerah menjadi
teladan bagi anak-anaknya.
Buku ini mendapat kata pengantar dari bapak Doktor Harry A. Poeze, yang
dapat menggambarkan secara rinci kehidupan orang-orang Indonesia di
Negeri Belanda dalam saat periode tersebut. Juga menjadi referensi
sederhana dari sekian banyak tentang wacana perempuan Indonesia.
Sepertinya buku ini dapat melengkapi referensi dari sekian banyak
referensi tentang dr. Soetomo.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/masadi_wiria/mengintip-perjalanan-seorang-ibu-dari-sebuah-buku_5500aa37a333115d6f511b4a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/masadi_wiria/mengintip-perjalanan-seorang-ibu-dari-sebuah-buku_5500aa37a333115d6f511b4a