Dinamika gerakan mahasiswa anggota Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda akhirnya mendapat pengaruh dari Moskow dan Partai Komunis Belanda. Pengaruh itu juga diungkap oleh Harry A. Poeze
(Sejarawan dari Universitas Leiden) dalam buku yang diterbitkan
Indoesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).
Di dalam bidang organisasi, Perhimpunan Indonesia (PI) mengalami perpecahan setelah para
pemimpin pertama yang bersikap radikal meninggalkan perkumpulan itu.
Kalau semula PI menempati kedudukan utama dalam gerakan nasional, kini
dia hanyalah sebuah pos di luar negeri untuk gerakan tersebut. Pamor
dan gengsi yang diperolehnya setelah peristiwa pengadilan para mahasiswa
beberapa waktu lalu, makin lama makin pudar karena tidak adanya
pemimpin yang mampu. Apalagi, mahasiswa-mahasiswa yang berhaluan Komunis
berhasil menyusup dan mendapat tempat berpijak di tingkat eksekutif dan
kemudian pada kira-kira tahun 1931 menguasai seluruh organisasi. Mereka
tidak ragu-ragu memecat Hatta, sehingga akhirnya bernasib sama dengan
Noto Soeroto, dan orang-orang yang berhaluan moderat lainnya.
Di bawah ketuanya, Abdoelmadjid Djojoadhiningrat, PI mengikuti aliran Moskow dan Partai Komunis Belanda. Abdoelmadjid dibantu oleh tokoh-tokoh berpengalaman seperti Pamontjak dan Soebardjo,
dan pendatang baru seperti Oetojo Ramelan, mahasiswa Fakultas Hukum di Leiden, dan Moewalladi, mahasiswa Fakultas Kedokteran. Tidak ada data mengenai kegiatan-kegiatan PI dan peranan orang-orang tertentu dalam organisasi ini.
Harry A. Poeze (Sejarawan dari Universitas Leiden) harus mengumpulkan keterangan-keterangan tak lengkap yang berserakan di sana-sini. Kegiatan para anggota PI harus dirahasiakan dengan ketat supaya tidak membahayakan kedudukan, beasiswa, bantuan keuangan, ataupun masa depan mereka. Akan tetapi, jumlah anggotanya ternyata telah menurun dengan drastis, yaitu hanya tinggal 30 orang saja. Gagasan untuk mendirikan organisasi tandingan yang berhaluan politik moderat atau netral, yang lebih bersifat sosial, tidak pernah terwujud. Yang membuat gentar kaum moderat untuk mendirikan alternatif itu adalah masa lampau PI yang panjang dan berjaya, kekhawatiran mengalami nasib sama seperti Noto Soeroto, dan tindakantindakan keras yang dapat diambil oleh minoritas Komunis yang memiliki rasa senasib-sepenanggungan yang kuat terhadap organisasi tandingannya.
Baru ketika Moskow sendiri mengubah taktiknya dan mengadakan kerja sama secara luas untuk melawan ancaman kaum fasis, hambatan-hambatan dapat disingkirkan dan proses penyusunan kekuatan dapat mulai dilaksanakan.Inisiatif ke arah ini diambil oleh para bangsawan Jawa. Mula-mula mereka mendirikan Studentenvereeniging ter Bevordering van Indonesische Kunst (SVIK) atau Persatuan Mahasiswa untuk Memajukan Seni Indonesia. Pada banyak kesempatan, SVIK yang berpangkal di Leiden mengadakan pergelaran, misalnya pada waktu ada perayaan dalam masyarakat mahasiswa Indonesia, dengan tujuan amal atau mencari sekadar uang untuk membantu para artisnya agar mendapat uang tambahan di samping beasiswa mereka.
Di bawah ketuanya, Abdoelmadjid Djojoadhiningrat, PI mengikuti aliran Moskow dan Partai Komunis Belanda. Abdoelmadjid dibantu oleh tokoh-tokoh berpengalaman seperti Pamontjak dan Soebardjo,
dan pendatang baru seperti Oetojo Ramelan, mahasiswa Fakultas Hukum di Leiden, dan Moewalladi, mahasiswa Fakultas Kedokteran. Tidak ada data mengenai kegiatan-kegiatan PI dan peranan orang-orang tertentu dalam organisasi ini.
Harry A. Poeze (Sejarawan dari Universitas Leiden) harus mengumpulkan keterangan-keterangan tak lengkap yang berserakan di sana-sini. Kegiatan para anggota PI harus dirahasiakan dengan ketat supaya tidak membahayakan kedudukan, beasiswa, bantuan keuangan, ataupun masa depan mereka. Akan tetapi, jumlah anggotanya ternyata telah menurun dengan drastis, yaitu hanya tinggal 30 orang saja. Gagasan untuk mendirikan organisasi tandingan yang berhaluan politik moderat atau netral, yang lebih bersifat sosial, tidak pernah terwujud. Yang membuat gentar kaum moderat untuk mendirikan alternatif itu adalah masa lampau PI yang panjang dan berjaya, kekhawatiran mengalami nasib sama seperti Noto Soeroto, dan tindakantindakan keras yang dapat diambil oleh minoritas Komunis yang memiliki rasa senasib-sepenanggungan yang kuat terhadap organisasi tandingannya.
Baru ketika Moskow sendiri mengubah taktiknya dan mengadakan kerja sama secara luas untuk melawan ancaman kaum fasis, hambatan-hambatan dapat disingkirkan dan proses penyusunan kekuatan dapat mulai dilaksanakan.Inisiatif ke arah ini diambil oleh para bangsawan Jawa. Mula-mula mereka mendirikan Studentenvereeniging ter Bevordering van Indonesische Kunst (SVIK) atau Persatuan Mahasiswa untuk Memajukan Seni Indonesia. Pada banyak kesempatan, SVIK yang berpangkal di Leiden mengadakan pergelaran, misalnya pada waktu ada perayaan dalam masyarakat mahasiswa Indonesia, dengan tujuan amal atau mencari sekadar uang untuk membantu para artisnya agar mendapat uang tambahan di samping beasiswa mereka.
Yang berperan penting dalam SVIK adalah Tinggarto, Raisoelngaskari, Hertog, dan Soepianti Soejono. Pada bulan Februari 1936 didirikan Roekoen Peladjar Indonesia (ROEPI), suatu organisasi sosial. Secara resmi politik dan agama dinyatakan di luar cakupan ROEPI. Politik dianggap sebagai wilayah PI. Di dalam ROEPI, yang mewakili semua universitas, kedudukan penting dibagi menurut fakultas dan tempat asal mahasiswa. Yang menjadi ketua pertama adalah Soedjono Djoened Poesponegoro, yang menyiapkan disertasinya di Universitas Leiden, dan asisten seorang guru besar pediatri. Dalam waktu satu tahun ROEPI menjadi organisasi pusat dan universal bagi mahasiswa Indonesia. ROEPI aktif dalam banyak bidang di samping berfungsi sebagai koordinator berbagai kegiatan. Pada bulan Maret 1937 dibuka sebuah pusat pertemuan yang diberi nama Clubhuis Indonesia, yang terletak di Hugo de Grootstraat 12 di Leiden. Di tempat ini diselenggarakan pertemuan-pertemuan resmi dan sosial, kursus-kursus, dan juga tersedia makanan, minuman, permainan, dan koran-koran baru dari Indonesia; dan semuanya dapat dinikmati para anggotanya. Ketika Poesponegoro meninggalkan negeri Belanda, kedudukannya digantikan oleh mahasiswa hukum, Soenito. Dia didukung oleh Maroeto Daroesman (indologi), Hertog, Daliloeddin (hukum), dan Soeripno (kimia), untuk menduduki jabatan-jabatan penting. Pada peringkat internasional ROEPI mengirim wakilnya, yaitu Soenito dan Maroeto Daroesman sebagai delegasi ke kongres mahasiswa di Amerika Serikat dan beberapa kongres mahasiswa lainnya.
Hubungan antara PI dan Chung Hwa Hui dipulihkan, dan antara ROEPI dan Chung Hwa Hui terjalin hubungan akrab. Secara teratur diselenggarakan pertemuan, kerja sama dalam berbagai bidang, dan pertandingan olah raga. Chung Hwa Hui sendiri juga pernah mengalami perpecahan. Pada tahun 1932 mahasiswa Cina yang radikal mendirikan Sarekat Peranakan Tionghoa Indonesia (SPTI) yang segera-menunjukkan dirinya sebagai "saudara" PI. Yang berperan penting dalam perpecahan ini adalah Tan Ling Djie, mahasiswa Fakultas Hukum Leiden, yang kelak menjadi tokoh Komunis penting di Indonesia. Setelah dua tahun pertama tidak terdengar apa-apa lagi tentang SPTI. Chung Hwa Hui tetap menjadi organisasi Cina yang universal, yang makin terlibat dalam perkembangan serius yang terjadi di Tiongkok, di mana Jepang sedang menjalankan niat imperialistisnya. Dalam kegiatannya, mereka dibantu oleh rekan-rekan Indonesia yang membentuk panitia bantuan dan mengumpulkan dana untuk membantu rakyat Cina; untuk maksud ini SVIK menyempatkan pergi ke London.