Bintang Kejora Hanya Rekadaya Belanda: Ini Kesaksian Pelaku Sejarah Pepera 1969

Dalam catatan sejarah, bendera Bintang Kejora tak lebih dari rekadaya kolonial Belanda dalam upayanya untuk melanjutkan menjajah wilayah Papua agar bisa terus mengekploitasi kekayaan alam semaunya sendiri. Namun, dalam Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 rakyat Papua memilih bergabung dengan Indonesia. Sedang dunia internasional mengakui secara sah bahwa Papua adalah bagian Negara Indonesia sesuai dengan keputusan PEPERA tahun 1969.

Jika rakyat Papua tidak hati-hati, bisa kena tipu seperti suku Aborigin di Australia yang tersingkir dalam tipuan mimpi dari penjajah. Berikut penuturan pelaku sejarah PEPERA, Ramses Ohee, yang keluarganya juga jadi  pelaku sejarah Sumpah Pemuda 1928 mewakili rakyat Papua.



Jejak Ramses Ohee
Ramses Ohee, anak dari Korano atau Kepala Kampung Asey Besar Distrik Sentani Onder Afdelling Hollandia, Poroe Ohee dan ibu Orpa Pallo Yochu yang lebih dikenal sebagai tokoh pejuang Pepera 1969 telah banyak merasakan asam garam, pahitnya hidup dari jaman penjajahan, perjuangan, orde lama, orde baru, hingga kini masuki jaman reformasi.

Kakek yang dilahirkan di Kampung Asei Besar pada 10 Oktober 1931 dari keturunan Ondoafi atau tokoh adat ternama saat itu menceritakan tentang kisah hidupnya sejak menuntut ilmu, mulai dari Sekolah Rakyat pada 1942-1945, Jongen Vervolks School atau sekolah kelanjutan pria di Yoka pada 1946-1949 itu, hingga menempuh pendidikan MULO pada 1951-1953 dan menyelesaikan kursus administrasi pada 1956-1957 di Dok V Jayapura.

Karena kecakapan dan keahliannya, Ramses dilantik menjadi anggota Dewan Penasihat Hollandia termuda, bersama Markus Kaisepo sang pengusul nama Irian Jaya pada 1959 hingga masa peralihan pemerintahan dari Belanda kepada Pemerintah Indonesia. Pada tahun yang sama, Ramses muda juga menjadi penyiar Radio Omroep Nieuw Guinea (RONG) khusus berita olahraga sepak bola yang kala itu sedang begulir liga Voetbalbond Hollandia en Omstreken (VHO) atau Perserikatan Sepakbola Hollandia (Jayapura) sekitarnya, atau juga disebut dengan nama lain, Voetbal Bond Hollandia (VBH).

Namun, sebelumnya sejak 1 Juli 1954, Ramses telah menjabat sebagai Klerk pada Dinas Kesehatan provinsi bagian farmasi di Jayapura, lalu terus menanjak hingga menjadi Hoofd Administrator pada dinas yang sama di bagin pemberantasan malaria, itu terhitung sejak 1 September 1962. Kemudian berdasarkan SK Gubernur KDH Irian Barat tertanggal 31 Maret 1964 menjabat sebagai Perakit Tata Usaha pada bagian perlengkapan dan pengawasan farmasi hingga memilih mundur dengan hormat pada 1 November 1967.

"Saya harus mundur, karena harus melanjutkan kepemimpinan sebagai ondoafi di kampung Asei Besar. Dan sejak mundur, saya ikuti berbagai kursus dan latihan diantaranya latihan kader taruna karta pada 5-19 Desember 1964 di Sentani, kursus kader pembangunan Irian Barat selama tiga bulan di Jakarta pada 1969, latihan kader nelayan pada 1974, kursus cepat pamong desa 1977, kursus cepat pamong desa Dati II Jayapura 1981, penataran LMD, penataran penyuluhan hukum bagi pejabat desa 1989 hingga mengikuti kursus penataran penyuluhan pembangunan masyarakat desa pada 1990," katanya.

Sementara dibidang organisasi, kata kakek delapan bersaudara itu, pernah menjabat sebagai Ketua Rukun Tani Indonesia dalam organisasi SOKSI XXV Irian Jaya pada 1970, menjabat sebagai Ketua Bidang Teknis Adat Irian Jaya dalam LMA Irian Jaya pada 1998 dan penasihat LMA Port Numbay Kota Jayapura pada 1999. Sejak 1970 membantu Korem 172/PWY dan khususnya Kodam XVII/Trikora dibidang umum pada masa pemulihan keamanan.

"Saya juga turut serta menentukan pembebasan Irian Barat dari penjajahan Belanda dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi (NKRI) saat Pepera 1969, bersama 1.025 orang utusan saat itu. Saya mendapat piagam penghargaan dari bapak presiden," kata mantan anggota DPRD Kabupaten Dati II Jayapura periode 1992-1997 dan 1997-1999.

 "Jadi, pesan saya kepada generasi muda, isilah kemerdekaan ini dengan hal-hal yang poistif untuk pribadi, karena keberhasilan lainnya akan mengikuti dengan sendiri. Tidak perlu terhasut dengan ajakan miring orang lain, yang belum tentu bisa merubah masa depanmu, karena kesuksesanmu akan datang ada pada pundakmu, bukan orang lain," kata Ramses yang mengklaim bahwa kedua orang tuanya merupakan perwakilan Papua pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang saat itu ikut dari Kesultanan Tidore dan Ternate.

Sejarah Papua Dalam NKRI Sudah Benar
Menurut Ramses, sejarah masuknya Irian Barat (Papua) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah benar sehingga  tidak perlu dipertanyakan dan diutak-atik lagi. Hal tersebut diungkapkan Tokoh Pejuang Papua, Ramses Ohee di Jayapura, Kamis menanggapi sejumlah kalangan yang masih mempersoalkan sejarah masuknya Papua ke dalam wilayah Indonesia yang telah ditetapkan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 silam.

Ramses menegaskan, ada pihak-pihak yang sengaja membelokkan sejarah Papua untuk memelihara konflik di Tanah Papua. "Sejarah masuknya Papua ke dalam NKRI sudah benar, hanya saja dibelokkan sejumlah warga tertentu yang kebanyakan generasi muda," ujarnya.


Lebih lanjut dijelaskannya, fakta sejarah menunjukkan keinginan rakyat Papua bergabung dengan Indonesia sudah muncul sejak pelaksanaan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. "Sayangnya, masih ada yang beranggapan bahwa Sumpah Pemuda tidak dihadiri pemuda Papua. Ini keliru, karena justru sebaliknya, para pemuda Papua hadir dan berikrar bersama pemuda dari daerah lainnya. Ayah saya, Poreu Ohee adalah salah satu pemuda Papua yang hadir pada saat itu," ujar Ramses.

Adapun mengenai pihak-pihak yang memutarbalikkan sejarah dan masih menyangkal kenyataan integrasi Papua ke dalam NKRI, Ramses tidak menyalahkan mereka karena minimnya pemahaman atas hal tersebut.

Menurutnya, hal yang perlu disadari adalah bahwa keberadaan negara merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga seharusnya disyukuri dengan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan di Papua.

Berdasarkan catatan sejarah, pada 1 Oktober 1962 pemerintah Belanda di Irian Barat menyerahkan wilayah ini kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga 1 Mei 1963. Setelah tanggal tersebut, bendera Belanda diturunkan dan diganti bendera Merah Putih dan bendera PBB.

Selanjutnya, PBB merancang suatu kesepakatan yang dikenal dengan "New York Agreement" untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat Irian Barat melakukan jajak pendapat melalui Pepera pada 1969 yang diwakili 175 orang sebagai utusan dari delapan kabupaten pada masa itu.
Hasil Pepera menunjukkan rakyat Irian Barat setuju untuk bersatu dengan pemerintah Indonesia.


Begini Jejak Sejarah Panjang Papua
Papua berada di wilayah paling timur negara Indonesia. Ia merupakan pulau terbesar kedua setelah Pulau Greenland di Denmark. Luasnya mencapai 890.000 km2 (ini jika digabung dengan Papua New Guinea). Besarnya diperkirakan hampir lima kali luas pulau Jawa.

Pada sekitar tahun 200 M, ahli geografi bernama Klaudius Ptolemaeus (Ptolamy) menyebut pulau Papua dengan nama Labadios. Sampai saat ini tak ada yang tahu, kenapa pulau Papua diberi nama Labadios.

Sekitar akhir tahun 500 M, oleh bangsa China diberi nama Tungki. Hal ini dapat diketahui setelah mereka menemukan sebuah catatan harian seorang pengarang Tiangkok, Ghau Yu Kuan yang menggambarkan bahwa asal rempah-rempah yang mereka peroleh berasal dari Tungki, nama yang digunakan oleh para pedagang China saat itu untuk Papua.

Selanjutnya, pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut nama Papua dengan menggunakan nama Janggi. Dalam buku Kertagama 1365 yang dikarang Pujangga Mpu Prapanca “Tugki” atau “Janggi” sesungguhnya adalah salah eja diperoleh dari pihak ketiga yaitu Pedagang Cina Chun Tjok Kwan yang dalam perjalanan dagangnya sempat menyinggahi beberapa tempat di Tidore dan Papua.

Di awal tahun 700 M, pedagang Persia dan Gujarat mulai berdatangan ke Papua, juga termasuk pedangan dari India. Tujuan mereka untuk mencari rempah-rempah di wilayah ini setelah melihat kesuksesan pedangang asal China. Para pedagang ini sebut nama Papua dengan Dwi Panta dan juga Samudranta, yang artinya Ujung Samudra dan Ujung Lautan.

Pada akhir tahun 1300, Kerajaan Majapahit menggunakan dua nama, yakni Wanin dan Sram. Nama Wanin, tentu tidak lain dari semenanjung Onin di daerah Fak-Fak dan Sram, ialah pulau Seram di Maluku. Ada kemungkinan, budak yang dibawa dan dipersembahkan kepada Majapahit berasal dari Onin dan yang membawanya ke sana adalah orang Seram dari Maluku, sehingga dua nama ini disebut.

Sekitar tahun 1646, Kerajaan Tidore memberi nama untuk pulau ini dan penduduknya sebagai Papa-Ua, yang sudah berubah dalam sebutan menjadi Papua. Dalam bahasa Tidore artinya tidak bergabung atau tidak bersatu (not integrated). Dalam bahasa melayu berarti berambut keriting. Memiliki pengertian lain, bahwa di pulau ini tidak terdapat seorang raja yang memerintah.

Ada juga yang memakai nama Papua sebagai bentuk ejekan terhadap warga setempat—penduduk primitif, tertinggal, bodoh— yang merupakan slogan yang tidak mempunyai arti apapun dengan nama Papua.

Respon penduduk terhadap nama Papua cukup baik. Alasannya, sebab nama tersebut benar mencerminkan identitas diri mereka sebagai manusia hitam, keriting, yang sangat berbeda dengan penduduk Melayu juga kerajaan Tidore. Tapi, tentu mereka tak terima dengan ejekan yang selalu dilontarkan warga pendatang.

Pada tahun 1511, Antonio d’Arbau pelaut asal Portugis menyebut wilayah Papua dengan nama “Os Papuas” atau juga llha de Papo. Don Jorge de Menetes, pelaut asal Spanyol juga sempat mampir di Papua beberapa tahun kemudian (1526–1527), ia tetap menggunakan nama Papua. Ia sendiri mengetahui nama Papua dalam catatan harian Antonio Figafetta, juru tulis pelayaran Magelhaens yang mengelilingi dunia menyebut dengan nama Papua. Nama Papua ini diketahui Figafetta saat ia singgah di pulau Tidore.

Berikutnya, pada tahun 1528, Alvaro de Savedra, seorang pimpinan armada laut Spanyol beri nama pulau Papua Isla de Oro atau Island of Gold yang artinya Pulau Emas. Ia juga merupakan satu-satunya pelaut yang berhasil menancapkan jangkar kapalnya di pantai utara kepulauan Papua. Dengan penyebutan Isla Del Oro membuat tidak sedikit pula para pelaut Eropa yang datang berbondong-bondong untuk mencari emas yang terdapat di pulau emas tersebut.

Pada tahun 1545, pelaut asal spanyol Inigo Ortiz de Retes memberi nama Nueva Guinee. Dalam bahasa Inggris disebut New Guinea. Ia awalnya menyusuri pantai utara pulau ini dan karena melihat ciri-ciri manusianya yang berkulit hitam dan berambut keriting sama seperti manusia yang ia lihat di belahan bumi Afrika bernama Guinea, maka diberi nama pulau ini Nueva Guinee/Pulau Guinea Baru.

Nama Papua dan Nueva Guinea dipertahankan hampir dua abad lamanya, baru kemudian muncul nama Nieuw Guinea dari Belanda, dan kedua nama tersebut terkenal secara luas diseluruh dunia, terutama pada abad ke-19. Penduduk nusantara mengenal dengan nama Papua dan sementara nama Nieuw Guinea mulai terkenal sejak abad ke-16 setelah nama tersebut tampak pada peta dunia sehingga dipakai oleh dunia luar, terutama di negara-negara Eropa.

Pada tahun 1956, Belanda kembali mengubah nama Papua dari Nieuw Guinea menjadi Nederlands Nieuw Guinea. Perubahan nama tersebut lebih bersifat politis karena Belanda tak ingin kehilangan pulau Papua dari Indonesia pada zaman itu.

Pada tahun 1950-an oleh Residen JP Van Eechoud dibentuklah sekolah Bestuur. Di sana ia menganjurkan dan memerintahkan Admoprasojo selaku Direktur Sekolah Bestuur tersebut untuk membentuk dewan suku-suku. Di dalam kegiatan dewan ini salah satunya adalah mengkaji sejarah dan budaya Papua, termasuk mengganti nama pulau Papua dengan sebuah nama lainnya.

Tindak lanjutnya, berlangsung pertemuan di Tobati, Jayapura. Di dalam turut dibicarakan ide penggantian nama tersebut, juga dibentuk dalam sebuah panitia yang nantinya akan bertugas untuk menelusuri sebuah nama yang berasal dari daerah Papua dan dapat diterima oleh seluruh suku yang ada.

Frans Kaisepo selaku ketua Panitia kemudian mengambil sebuah nama dari sebuah mitos Manseren Koreri, sebuah legenda yang termahsyur dan dikenal luas oleh masyarakat luas Biak, yaitu Irian.

Dalam bahasa Biak Numfor “Iri” artinya tanah, "an" artinya panas. Dengan demikian nama Irian artinya tanah panas. Pada perkembangan selanjutnya, setelah diselidiki ternyata terdapat beberapa pengertian yang sama di tempat seperti Serui dan Merauke. Dalam bahasa Serui, "Iri" artinya tanah, "an" artinya bangsa, jadi Irian artinya Tanah bangsa, sementara dalam bahasa Merauke, "Iri" artinya ditempatkan atau diangkat tinggi, "an" artinya bangsa, jadi Irian adalah bangsa yang diangkat tinggi.

Secara resmi, pada tanggal 16 Juli 1946, Frans Kaisepo yang mewakili Nieuw Guinea dalam konferensi di Malino-Ujung Pandang, melalui pidatonya yang berpengaruh terhadap penyiaran radio nasional, mengganti nama Papua dan Nieuw Guinea dengan nama Irian.

Nama Irian adalah satu nama yang mengandung arti politik. Frans Kaisepo pernah mengatakan “Perubahan nama Papua menjadi Irian, kecuali mempunyai arti historis, juga mengandung semangat perjuangan: IRIAN artinya Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”. (Buku PEPERA 1969 terbitan tahun 1972, hal. 107-108).

Setelah Indonesia merdeka pada 1945, dan semakin terpojoknya Belanda oleh dunia internasional dalam rangka mempertahankan Papua dalam wilayah jajahannya, pada 1 Desember 1961, Belanda membentuk negara boneka Papua. Pada tanggal tersebut Belanda memerintahkan masyarakat Papua untuk mengibarkan bendera nasional baru yang dinamakan Bintang Kejora. Mereka menetapkan nama Papua sebagai Papua Barat.

Sedangkan United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), sebuah badan khusus yang dibentuk PBB untuk menyiapkan act free choice di Papua pada tahun 1969 menggunakan dua nama untuk Papua, West New Guinea/West Irian.

Berikutnya, nama Irian diganti menjadi Irian Barat secara resmi sejak 1 Mei 1963 saat wilayah ini dikembalikan dari Kerajaan Belanda ke dalam pangkuan Negara Republik Indonesia. Pada tahun 1967, kontrak kerja sama PT Freeport Mc Morran dengan pemerintah Indonesia dilangsungkan. Dalam kontrak ini Freeport gunakan nama Irian Barat, padahal secara resmi Papua belum resmi jadi bagian Indonesia.

Dunia internasional mengakui secara sah bahwa Papua adalah bagian Negara Indonesia setelah dilakukannya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969.

Dan kemudian pada tanggal 1 Maret 1973 sesuai dengan peraturan Nomor 5 tahun 1973 nama Irian Barat resmi diganti oleh Presiden Soeharto menjadi nama Irian Jaya.

Memasuki era reformasi sebagian masyarakat menuntut penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua. Presiden Abdurrahman Wahid memenuhi permintaan sebagian masyarakat tersebut. Dalam acara kunjungan resmi kenegaraan Presiden, sekaligus menyambut pergantian tahun baru 1999 ke 2000, pagi hari tanggal 1 Januari 2000, dia memaklumkaan bahwa nama Irian Jaya saat itu diubah namanya menjadi Papua seperti yang diberikan oleh Kerajaan Tidore pada tahun 1800-an.
Lebih baru Lebih lama