Jalan Kereta Api pertama di Indonesia dibangun di wilayah Jawa bagian tengah, yaitu dari Semarang melewati Tanggung, Kedung Jati, Gundih, Surakarta, dan Yogyakarta. Pada pertengahan abad ke 18 di daerah Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta --yang dikenal dengan Vorstenlanden-- banyak berkembang perusahaan perkebunan tebu dan tembakau. Adapun dari Kedung Jati hingga Gundih terbentang luas perkebunan pohon jati. Berbagai produksi perkebunan tersebut diekspor ke luar negeri, terutama ke negeri Belanda, melalui pelabuhan kapal di Semarang. Karena kondisi jalan darat antara Semarang dan wilayah-wilayah perkebunan itu belum cukup baik, para pengusaha pemilik perusahaan perkebunan cukup kesulitan untuk membawa produksinya menuju pelabuhan di Semarang.
Permasalahan transportasi yang dialami oleh para pengusaha di Jawa ini dengan segera diketahui oleh perusahaan kereta api Nederlandsche Spoorweg (NS) yang berkedudukan di Belanda. Perusahaan kereta ini kemudian berusaha untuk mengupayakan berdirinya suatu perusahaan kereta yang beroperasi di wilayah Hindia Belanda. Bersama dengan pemerintah Hindia Belanda dan pihak swasta lainnya, dimulai upaya studi kelayakan untuk pembangunan jalan kereta api di Jawa. Mulanya pemerintah Belanda mengeluarkan Surat Keputusan Raja (Koninklijk Besluit) No. 207 pada 28 Mei 1842 yang menetapkan bahwa untuk meningkatkan angkutan hasil produksi dan barang-barang industri dari Semarang ke Kedu dan daerah-daerah lain di wilayah Vorstenlanden akan dibangun jalan baja yang akan dilalui oleh kereta yang akan ditarik oleh lembu, kerbau, dan kuda. Selama periode 1842 – 1862 perdebatan mengenai kelayakan pembangunan jalan rel kereta api terus berlangsung di Hindia Belanda.
Untuk membangun jalan kereta api dan mengoperasikan kereta api di Hindia Belanda, pemerintah mengeluarkan suatu konsesi yang hanya dapat diberikan kepada:1.Warga negara Belanda; 2.Perusahaan yang ada di negeri Belanda atau Hindia Belanda yang pengurus, komisaris, dan pemegang sahamnya mayoritas warga negara Belanda.
Konsesi pembangunan jalan kereta api pertama diberikan pemerintah Hindia Belanda kepada tiga orang pemegang konsesi, yaitu W. Poolman, A.Fraser, dan E.H. Kool yang mendapat konsesi selama 99 tahun. Pemberian konsesi ini termaktub dalam Surat Keputusan Pemerintah (Gouverments Besluit) No. 1 tertanggal 28 Agustus 1862 yang kemudian dikuatkan dengan Undang-undang No. 6 Juli 1863 tentang pembangunan jalan rel kereta lintas Semarang-Ambarawa-KedungJati-Solo-Yogyakarta-Brosot dengan menggunakan lebar spoor 1435 mm sesuai dengan standar normal lebar sepur di Eropa.
Untuk melaksanakan konsesi yang diterima dari pemerintah, beberapa kalangan swasta membentuk Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) pada 27 Agustus 1863 di Hindia Belanda.Perusahaan kereta pertama di Hindia Belanda itu dipimpin oleh Dewan Direksi yang terdiri dari Mr W Poolman sebagai ketua direksi bersama dengan dua anggota direksi Mr. C. van Heukelom dan Mr. E.H. s’ Jacob. Pada awal beroperasi, NISM memiliki modal sebesar 14 juta gulden yang terdiri dari 10 juta gulden dalam bentuk saham (10 ribu lembar saham) dan 4 juta gulden dalam bentuk obligasi. Diantara para pemegang saham modal NISM adalah :
- Raja Willem III sebesar 50 saham
- Nederlandsch Handel Maatschappij sebesar 100 saham
- Nederlandsch Indische Handelsbank sebesar 500 saham
- Pemegang konsesi, yaitu Poolman, Fraser and Kol, dan Bonhote, @ 200 saham sebesar 800 saham
- Firma Gol and Co sebesar 75 saham
- Firma Nottebuhm en Finley Hodgson sebesar 200 saham
- 10 pemegang saham @50 saham sebesar 500 saham
- 25 pemegang saham @2-30 saham sebesar 445 saham
Total saham sebesar 2670 saham
Sementara itu sisa saham sebesar 7330 saham dimiliki oleh NV Algemeene Maatschappij voor Handel en Nijverheid sebagai perusahaan yang mempunyai inisiatif dalam pembentukan NISM. Dengan demikian NISM adalah perusahaan kereta api yang kepemilikannya ada di tangan swasta.
Pada awal pelaksanaan konsesi, terjadi tarik menarik kepentingan antara pemerintah sebagai pemberi konsesi dan NISM sebagai pelaksana. Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan nasehat Menteri Tanah Jajahan T.J. Stieltjes meminta kepada NISM agar membangun jalan rel kereta api dari Semarang menuju Vorstenlanden melalui Ungaran dan Salatiga. Pemerintah berharap selain untuk melayani kepentingan perdagangan swasta, jalan kereta itu juga dapat digunakan untuk kepentingan militer. Daerah Ungaran dan Salatiga pada waktu itu adalah pusat kekuatan militer Hindia Belanda.
Permintaan pemerintah itu tentu ditolak oleh NISM, karena membangun jalan rel kereta melalui wilayah pegunungan akan memerlukan biaya yang cukup besar. Selain itu, rute tersebut tidak sesuai dengan tujuan pihak swasta untuk melayani sarana transportasi dari wilayah Vorstenlanden menuju Semarang. Akhirnya pemerintah Hindia Belanda menyetujui rencana NISM dengan syarat mereka tetap harus membuat jalan rel cabang menuju wilayah Benteng Willem I di Ambarawa.
Pembangunan jalan rel pertama dimulai dari Semarang yang pembukaannya pada Jumat 7 Juni 1864 ditandai dengan suatu upacara pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J.W. Baron Sloet van de Beele. Dalam waktu tiga tahun NISM berhasil menyelesaikan jalan rel kereta sepanjang 25 Km dari Kemijen di Semarang sampai ke Tanggung (Grobogan) dengan melewati Alastuwo, Brumbung, dan Tlogotirto. Pada 10 Agustus 1867 jalan rel kereta Semarang-Tanggung mulai dibuka untuk umum. Hari itu adalah hari peluncuran pertama kali kereta api di Hindia Belanda. Tarif yang diberlakukan pada saat itu adalah tiap paal (1,5 Km) 20 sen untuk penumpang kelas 1, 15 sen untuk penumpang kelas 2, dan 7 sen untuk penumpang kelas 3. Adapun untuk angkutan barang diberlakukan tarif tiap pikul (62,5 Kg) seharga 1,4 sen untuk tiap paal.
Pembangunan jalan rel kereta yang dilaksanakan oleh NISM dipimpin oleh J.P. de Bordes dengan biaya 80 ribu gulden untuk tiap kilo meter. Akan tetapi besarnya biaya pembangunan itu kemudian terbayar dengan keuntungan yang diperoleh oleh NISM selama mengoperasikan jalan rel kereta itu dalam satu tahun. Pada pertengahan 1868 diketahui NISM telah meraup keuntungan sebesar 4.489 gulden.
Setahun kemudian, pada 19 Juli 1868 lintas antara Tanggung dan Kedung Jati sejauh 9 Km mulai dibuka untuk umum. Esoknya pada 20 Juli 1868 juga mulai dibuka jalan rel kereta simpang dari Semarang Gudang – Pelabuhan sejauh 2 Km. Sejak saat itu transportasi kereta api untuk mengangkut produksi ekspor telah tersedia dari Kedung Jati di wilayah pedalaman menuju pelabuhan di Semarang. Selanjutnya pada 10 Februari 1870 NISM meresmikan jalur kedua yang menghubungkan Semarang - Surakarta sepanjang 110 Km yang meliputi Semarang- Kedung Jati-Gundih-dan Surakarta.
Sebelum NISM berhasil menyelesaikan pembangunan jalan rel kereta hingga sampai di Yogyakarta, perusahaan swasta itu mengalami kesulitan keuangan untuk meneruskan proyek pembangunan. Menanggapi kesulitan itu, pemerintah Hindia Belanda turun tangan dan memberi pinjaman kepada NISM dengan bunga yang ringan. Sebenarnya pemerintah, melalui Staatsspoorwegen (SS) ingin mengambil alih pembangunan jalan rel kereta antara Surakarta-Yogyakarta dengan lebar spoor 1067 mm, sesuai ukuran standar lebar spoor yang mereka miliki. Akan tetapi karena pemerintah telah memberikan konsesi kepada NISM selama 99 tahun, keinginan pemerintah itu tidak dapat terlaksana.
Akhirnya sebagai titik tengah, agar terdapat kesamaan lebar spoor yang akan dibangun antara Surakarta dan Yogyakarta, pemerintah dan NISM menyepakati beberapa hal sebagai berikut:
Dengan kesepakatan itu, jalan rel kereta lintas Surakarta-Yogyakarta sepanjang 58 Km berhasil dibangun oleh NISM dan pada 10 Juni 1873 dibuka untuk umum. Selanjutnya NISM meneruskan pembangunan cabang jalan rel kereta dari Kedung Jati menuju Ambarawa. Jalur rel kereta sepanjang 37 Km itu dibangun dengan menelan biaya yang sangat besar, karena harus melewati daerah pegunungan. Jalur itu secara resmi dibuka untuk umum pada 21 Mei 1895.
Untuk eksploitasi di wilayah Jawa bagian barat, sejak 27 Maret 1864 NISM telah mendapat izin pembangunan dan eksploitasi rel kereta api dari pemerintah untuk lintas Jakarta-Bogor. Pada 19 Juni 1865 pemerintah secara resmi memberikan surat konsesi untuk lintas Jakarta-Bogor kepada NISM. Tetapi karena kesulitan pembiayaan pembangunan lintas Jakarta-Bogor baru dimulai pada 15 Oktober 1869 dengan menggunakan lebar sepur 1435 mm. Upacara pencangkulan pertama pembangunan jalur rel kereta lintas Jakarta-Bogor dihadiri oleh Gubernur Jenderal P. Myer. Sekali lagi pelaksanaan pembangunan dipimpin oleh J.P. de Bordes.
Pada Februari 1870, tahap pertama jalur kereta api NISM di Residen Batavia untuk lintas Pasar Ikan-Batavia-Weltevreden (Gambir) sepanjang 7,59 kilometer, jalur simpangan menuju Meester Cornelis (Jatinegara) beserta 13,08 kilometer wilayah seksi pekerjaan di Jatinegara, dan 18,73 kilometer jalur di bagian Bogor telah selesai dibangun.Pembangunan tahap kedua lintas Jakarta-Bogor pada bagian Bogor baru dimulai lagi pada Juni 1870. Setahun kemudian, yaitu Juni 1871, lintas kereta api bagian Bogor sepanjang 9,27 kilometer diselesaikan.
Selanjutnya pada 15 September 1871, NISM juga mulai membuka secara resmi untuk umum jalan rel kereta lintas Pasar Ikan-Batavia-Gambir. Lintas ini awalnya hanya melayani penumpang dan kemudian pada 1872 NISM mulai menerima angkutan barang di Residen Batavia. Meski sempat mengalami kerugian, karena jumlah penumpang yang terus menurun, jala rel kereta lintas Gambir-Jatinegara berhasil disambung dan diresmikan pada 16 Juni 1872. Hingga saat itu lantaran jumlah penumpang terus menurun, NISM mengalami kerugian operasional sebesar 4.277, 83 Gulden pada lintas Pasar Ikan-Gambir.
Akhirnya pada 18 Januari 1873 NISM berhasil menuntaskan pembangunan jalan rel kereta lintas Jatinegara-Bogor. Pada akhir 1873 seluruh jalur kereta api NISM Jakarta-Bogor telah dibuka untuk umum. Sejak saat itu secara perlahan dari lintas Jakarta-Bogor NISM mulai meraih keuntungan sebesar 205.297 Gulden. Pada 1874 keuntungan NISM dari lintas Jakarta-Bogor bertambah menjadi 245.580 Gulden dengan dividen 3,75 persen.
Setelah menyaksikan keberhasilan NISM dalam membangun jalan rel dan mengoperasikan kereta api, di Hindia Belanda – terutama di Jawa-- mulai bermunculan perusahaan kereta api atau trem swasta. Hingga memasuki awal abad ke 19, NISM masih berkembang sebagai perusahaan kereta api swasta yang menguasai sebagian besar eksploitasi jalan rel kereta di Jawa bagian tengah. Pada akhir Desember 1918 tercatat NISM memiliki pekerja sejumlah 2814 orang yang terdiri dari :
- 179 pegawai tinggi dari kalangan bangsa Belanda yang lahir di Eropa
- 564 pegawai menengah dari kalangan bangsa Belanda yang lahir di Hindia Belanda dengan status yang sama dengan mereka yang lahir di Eropa
- 2071 pegawai rendah yang seluruhnya dari orang-orang pribumi
Pada saat kedatangan tentara pendudukan Jepang di wilayah Hindia Belanda pada 1942, semua perusahaan kereta api di Hindia Belanda, baik milik pemerintah maupun swasta, dilikuidasi dan dilebur menjadi satu insitusi jawatan kereta api dengan nama Rikuyu Sokyoku. Di Jawa daerah eksploitasi kereta api terbagi atas:
1. Jawa Barat dengan nama jawatan Seibu Kyoku
2. Jawa Tengah dengan nama jawatan Chubu Kyoku
3. Jawa Timur dengan nama jawatan Tobu Kyoku
Sementara itu di Sumatera jawatan kereta api juga dibagi menjadi tiga wilayah eksploitasi, yaitu:
1. Sumatera Selatan dengan nama Nanbu Sumatora Tetsudo
2. Sumatera Barat dengan nama Seibu Sumatora Tetsudo
3. Sumatera Utara dengan nama Kiata Sumatora Tetsudo
Kondisi itu berakhir pada 1945, ketika Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan tidak lama kemudian pasukan Sekutu (Inggris-Australia) tiba di Indonesia pada 14 September 1945. Para petinggi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) dan serdadu-serdadu Belanda membonceng tentara sekutu untuk menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda, meskipun mereka telah mendapati kenyataan bahwa di atas wilayah Hindia Belanda telah berdiri wilayah Republik Indonesia yang bebas dan merdeka. NICA belum mengakui kemerdekaan Indonesia dan bertindak seolah-olah pemerintahan Indonesia tidak berkuasa di wilayah eks Hindia Belanda. Oleh karena itu, pada saat itu di wilayah yang sama, yaitu eks wilayah Hindia Belanda, terdapat dua kekuasaan yang memerintah, yaitu pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah NICA.
Pada saat itu sistem perkeretaapian di Indonesia juga terbagi menjadi dua. Di wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesiasi kereta api dijalankan oleh Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) yang dibentuk pada 30 September 1945. Sementara di wilayah yang dikuasai oleh Sekutu dan Netherland Indies Civil Administration (NICA) dijalankan oleh Staatspoorwegen/Vereenigde Spoorwegbedrijf (SS/VS) sebagai hasil penggabungan antara kereta api milik pemerintah Hindia Belanda dengan sebelas perusahaan kereta api swasta, termasuk NISM. Sejak saat itu tidak ada lagi perusahaan kereta api swasta seperti NISM, yang beroperasi di wilayah Hindia Belanda, kecuali DSM yang masih beroperasi di wilayah Sumatera.
Sumber :
Gudang Gula di Semarang, sumber : Nederlands Welvaart |
Untuk membangun jalan kereta api dan mengoperasikan kereta api di Hindia Belanda, pemerintah mengeluarkan suatu konsesi yang hanya dapat diberikan kepada:1.Warga negara Belanda; 2.Perusahaan yang ada di negeri Belanda atau Hindia Belanda yang pengurus, komisaris, dan pemegang sahamnya mayoritas warga negara Belanda.
Konsesi pembangunan jalan kereta api pertama diberikan pemerintah Hindia Belanda kepada tiga orang pemegang konsesi, yaitu W. Poolman, A.Fraser, dan E.H. Kool yang mendapat konsesi selama 99 tahun. Pemberian konsesi ini termaktub dalam Surat Keputusan Pemerintah (Gouverments Besluit) No. 1 tertanggal 28 Agustus 1862 yang kemudian dikuatkan dengan Undang-undang No. 6 Juli 1863 tentang pembangunan jalan rel kereta lintas Semarang-Ambarawa-KedungJati-Solo-Yogyakarta-Brosot dengan menggunakan lebar spoor 1435 mm sesuai dengan standar normal lebar sepur di Eropa.
Untuk melaksanakan konsesi yang diterima dari pemerintah, beberapa kalangan swasta membentuk Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) pada 27 Agustus 1863 di Hindia Belanda.Perusahaan kereta pertama di Hindia Belanda itu dipimpin oleh Dewan Direksi yang terdiri dari Mr W Poolman sebagai ketua direksi bersama dengan dua anggota direksi Mr. C. van Heukelom dan Mr. E.H. s’ Jacob. Pada awal beroperasi, NISM memiliki modal sebesar 14 juta gulden yang terdiri dari 10 juta gulden dalam bentuk saham (10 ribu lembar saham) dan 4 juta gulden dalam bentuk obligasi. Diantara para pemegang saham modal NISM adalah :
- Raja Willem III sebesar 50 saham
- Nederlandsch Handel Maatschappij sebesar 100 saham
- Nederlandsch Indische Handelsbank sebesar 500 saham
- Pemegang konsesi, yaitu Poolman, Fraser and Kol, dan Bonhote, @ 200 saham sebesar 800 saham
- Firma Gol and Co sebesar 75 saham
- Firma Nottebuhm en Finley Hodgson sebesar 200 saham
- 10 pemegang saham @50 saham sebesar 500 saham
- 25 pemegang saham @2-30 saham sebesar 445 saham
Total saham sebesar 2670 saham
Sementara itu sisa saham sebesar 7330 saham dimiliki oleh NV Algemeene Maatschappij voor Handel en Nijverheid sebagai perusahaan yang mempunyai inisiatif dalam pembentukan NISM. Dengan demikian NISM adalah perusahaan kereta api yang kepemilikannya ada di tangan swasta.
Raja Willem III salah satu pemilik saham NISM, Sumber: Nl.Wikipedia |
Permintaan pemerintah itu tentu ditolak oleh NISM, karena membangun jalan rel kereta melalui wilayah pegunungan akan memerlukan biaya yang cukup besar. Selain itu, rute tersebut tidak sesuai dengan tujuan pihak swasta untuk melayani sarana transportasi dari wilayah Vorstenlanden menuju Semarang. Akhirnya pemerintah Hindia Belanda menyetujui rencana NISM dengan syarat mereka tetap harus membuat jalan rel cabang menuju wilayah Benteng Willem I di Ambarawa.
Pembangunan jalan rel pertama dimulai dari Semarang yang pembukaannya pada Jumat 7 Juni 1864 ditandai dengan suatu upacara pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J.W. Baron Sloet van de Beele. Dalam waktu tiga tahun NISM berhasil menyelesaikan jalan rel kereta sepanjang 25 Km dari Kemijen di Semarang sampai ke Tanggung (Grobogan) dengan melewati Alastuwo, Brumbung, dan Tlogotirto. Pada 10 Agustus 1867 jalan rel kereta Semarang-Tanggung mulai dibuka untuk umum. Hari itu adalah hari peluncuran pertama kali kereta api di Hindia Belanda. Tarif yang diberlakukan pada saat itu adalah tiap paal (1,5 Km) 20 sen untuk penumpang kelas 1, 15 sen untuk penumpang kelas 2, dan 7 sen untuk penumpang kelas 3. Adapun untuk angkutan barang diberlakukan tarif tiap pikul (62,5 Kg) seharga 1,4 sen untuk tiap paal.
Pembangunan jalan rel kereta yang dilaksanakan oleh NISM dipimpin oleh J.P. de Bordes dengan biaya 80 ribu gulden untuk tiap kilo meter. Akan tetapi besarnya biaya pembangunan itu kemudian terbayar dengan keuntungan yang diperoleh oleh NISM selama mengoperasikan jalan rel kereta itu dalam satu tahun. Pada pertengahan 1868 diketahui NISM telah meraup keuntungan sebesar 4.489 gulden.
Setahun kemudian, pada 19 Juli 1868 lintas antara Tanggung dan Kedung Jati sejauh 9 Km mulai dibuka untuk umum. Esoknya pada 20 Juli 1868 juga mulai dibuka jalan rel kereta simpang dari Semarang Gudang – Pelabuhan sejauh 2 Km. Sejak saat itu transportasi kereta api untuk mengangkut produksi ekspor telah tersedia dari Kedung Jati di wilayah pedalaman menuju pelabuhan di Semarang. Selanjutnya pada 10 Februari 1870 NISM meresmikan jalur kedua yang menghubungkan Semarang - Surakarta sepanjang 110 Km yang meliputi Semarang- Kedung Jati-Gundih-dan Surakarta.
Stasiun Kedung Jati circa 1868, sumber: KITLV |
Sebelum NISM berhasil menyelesaikan pembangunan jalan rel kereta hingga sampai di Yogyakarta, perusahaan swasta itu mengalami kesulitan keuangan untuk meneruskan proyek pembangunan. Menanggapi kesulitan itu, pemerintah Hindia Belanda turun tangan dan memberi pinjaman kepada NISM dengan bunga yang ringan. Sebenarnya pemerintah, melalui Staatsspoorwegen (SS) ingin mengambil alih pembangunan jalan rel kereta antara Surakarta-Yogyakarta dengan lebar spoor 1067 mm, sesuai ukuran standar lebar spoor yang mereka miliki. Akan tetapi karena pemerintah telah memberikan konsesi kepada NISM selama 99 tahun, keinginan pemerintah itu tidak dapat terlaksana.
Akhirnya sebagai titik tengah, agar terdapat kesamaan lebar spoor yang akan dibangun antara Surakarta dan Yogyakarta, pemerintah dan NISM menyepakati beberapa hal sebagai berikut:
- 1 SS menyediakan satu bentang rel yang nantinya harus diletakkan diantara rel milik NISM dengan biaya pemasangan ditanggung oleh SS.
- 2.Bentangan rel yang dipasang SS itu selanjutnya menjadi milik NISM.
- 3 Monopoli pengangkutan barang dari Solo – Yogyakarta tetap menjadi monopoli NISM. Adapun pengangkutan penumpang tetap dilakukan secara bersama.
- 4 NISM diizinkan membuka jalan rel kereta antara Magelang-Parakan, Secang-Ambarawa, Solo-Boyolali, Solo-Wonogiri, Gundih-Surabaya, dan Semarang – Gambringan.
- 5.Jalan rel kereta api yang selanjutnya akan dibangun oleh NISM harus memiliki lebar spoor yang sama dengan milik SS, yaitu 1067 mm.
Dengan kesepakatan itu, jalan rel kereta lintas Surakarta-Yogyakarta sepanjang 58 Km berhasil dibangun oleh NISM dan pada 10 Juni 1873 dibuka untuk umum. Selanjutnya NISM meneruskan pembangunan cabang jalan rel kereta dari Kedung Jati menuju Ambarawa. Jalur rel kereta sepanjang 37 Km itu dibangun dengan menelan biaya yang sangat besar, karena harus melewati daerah pegunungan. Jalur itu secara resmi dibuka untuk umum pada 21 Mei 1895.
Untuk eksploitasi di wilayah Jawa bagian barat, sejak 27 Maret 1864 NISM telah mendapat izin pembangunan dan eksploitasi rel kereta api dari pemerintah untuk lintas Jakarta-Bogor. Pada 19 Juni 1865 pemerintah secara resmi memberikan surat konsesi untuk lintas Jakarta-Bogor kepada NISM. Tetapi karena kesulitan pembiayaan pembangunan lintas Jakarta-Bogor baru dimulai pada 15 Oktober 1869 dengan menggunakan lebar sepur 1435 mm. Upacara pencangkulan pertama pembangunan jalur rel kereta lintas Jakarta-Bogor dihadiri oleh Gubernur Jenderal P. Myer. Sekali lagi pelaksanaan pembangunan dipimpin oleh J.P. de Bordes.
Pada Februari 1870, tahap pertama jalur kereta api NISM di Residen Batavia untuk lintas Pasar Ikan-Batavia-Weltevreden (Gambir) sepanjang 7,59 kilometer, jalur simpangan menuju Meester Cornelis (Jatinegara) beserta 13,08 kilometer wilayah seksi pekerjaan di Jatinegara, dan 18,73 kilometer jalur di bagian Bogor telah selesai dibangun.Pembangunan tahap kedua lintas Jakarta-Bogor pada bagian Bogor baru dimulai lagi pada Juni 1870. Setahun kemudian, yaitu Juni 1871, lintas kereta api bagian Bogor sepanjang 9,27 kilometer diselesaikan.
Selanjutnya pada 15 September 1871, NISM juga mulai membuka secara resmi untuk umum jalan rel kereta lintas Pasar Ikan-Batavia-Gambir. Lintas ini awalnya hanya melayani penumpang dan kemudian pada 1872 NISM mulai menerima angkutan barang di Residen Batavia. Meski sempat mengalami kerugian, karena jumlah penumpang yang terus menurun, jala rel kereta lintas Gambir-Jatinegara berhasil disambung dan diresmikan pada 16 Juni 1872. Hingga saat itu lantaran jumlah penumpang terus menurun, NISM mengalami kerugian operasional sebesar 4.277, 83 Gulden pada lintas Pasar Ikan-Gambir.
Akhirnya pada 18 Januari 1873 NISM berhasil menuntaskan pembangunan jalan rel kereta lintas Jatinegara-Bogor. Pada akhir 1873 seluruh jalur kereta api NISM Jakarta-Bogor telah dibuka untuk umum. Sejak saat itu secara perlahan dari lintas Jakarta-Bogor NISM mulai meraih keuntungan sebesar 205.297 Gulden. Pada 1874 keuntungan NISM dari lintas Jakarta-Bogor bertambah menjadi 245.580 Gulden dengan dividen 3,75 persen.
Setelah menyaksikan keberhasilan NISM dalam membangun jalan rel dan mengoperasikan kereta api, di Hindia Belanda – terutama di Jawa-- mulai bermunculan perusahaan kereta api atau trem swasta. Hingga memasuki awal abad ke 19, NISM masih berkembang sebagai perusahaan kereta api swasta yang menguasai sebagian besar eksploitasi jalan rel kereta di Jawa bagian tengah. Pada akhir Desember 1918 tercatat NISM memiliki pekerja sejumlah 2814 orang yang terdiri dari :
- 179 pegawai tinggi dari kalangan bangsa Belanda yang lahir di Eropa
- 564 pegawai menengah dari kalangan bangsa Belanda yang lahir di Hindia Belanda dengan status yang sama dengan mereka yang lahir di Eropa
- 2071 pegawai rendah yang seluruhnya dari orang-orang pribumi
Pada saat kedatangan tentara pendudukan Jepang di wilayah Hindia Belanda pada 1942, semua perusahaan kereta api di Hindia Belanda, baik milik pemerintah maupun swasta, dilikuidasi dan dilebur menjadi satu insitusi jawatan kereta api dengan nama Rikuyu Sokyoku. Di Jawa daerah eksploitasi kereta api terbagi atas:
1. Jawa Barat dengan nama jawatan Seibu Kyoku
2. Jawa Tengah dengan nama jawatan Chubu Kyoku
3. Jawa Timur dengan nama jawatan Tobu Kyoku
Sementara itu di Sumatera jawatan kereta api juga dibagi menjadi tiga wilayah eksploitasi, yaitu:
1. Sumatera Selatan dengan nama Nanbu Sumatora Tetsudo
2. Sumatera Barat dengan nama Seibu Sumatora Tetsudo
3. Sumatera Utara dengan nama Kiata Sumatora Tetsudo
Kondisi itu berakhir pada 1945, ketika Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan tidak lama kemudian pasukan Sekutu (Inggris-Australia) tiba di Indonesia pada 14 September 1945. Para petinggi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) dan serdadu-serdadu Belanda membonceng tentara sekutu untuk menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda, meskipun mereka telah mendapati kenyataan bahwa di atas wilayah Hindia Belanda telah berdiri wilayah Republik Indonesia yang bebas dan merdeka. NICA belum mengakui kemerdekaan Indonesia dan bertindak seolah-olah pemerintahan Indonesia tidak berkuasa di wilayah eks Hindia Belanda. Oleh karena itu, pada saat itu di wilayah yang sama, yaitu eks wilayah Hindia Belanda, terdapat dua kekuasaan yang memerintah, yaitu pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah NICA.
Pada saat itu sistem perkeretaapian di Indonesia juga terbagi menjadi dua. Di wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesiasi kereta api dijalankan oleh Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) yang dibentuk pada 30 September 1945. Sementara di wilayah yang dikuasai oleh Sekutu dan Netherland Indies Civil Administration (NICA) dijalankan oleh Staatspoorwegen/Vereenigde Spoorwegbedrijf (SS/VS) sebagai hasil penggabungan antara kereta api milik pemerintah Hindia Belanda dengan sebelas perusahaan kereta api swasta, termasuk NISM. Sejak saat itu tidak ada lagi perusahaan kereta api swasta seperti NISM, yang beroperasi di wilayah Hindia Belanda, kecuali DSM yang masih beroperasi di wilayah Sumatera.
Sumber :
- S.A. Reitsma. De Kinderziekten Der Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij. Den Haag: Moormans Periodeke Pers NV, 1941.
- Roesdi Santoso. Kereta Api Dari Masa ke Masa. Semarang: PJKA Eksploitasi tengah, 1979.
- R. Oerip Simeon. KISAH KERETA API INDONESIA S.S./S.S.-V.S./D.K.A.-R.I./D.K.A. Tjetakan Pertama, Djilid Ke-1. Bandung: Pengurus Besar Persatuan Buruh Kereta Api, 1953.
- Tim Telagabakti Nusantara. SEJARAH PERKERETAAPIAN INDONESIA. Bandung: CV Angkasa, 1997.
- M. Gani. Kereta Api Indonesia. Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1978.