Pada tahun 1880 penguasa Kolonial Belanda di Indonesia membangun jalur kereta api lintas Batavia (Jakarta) - Buitenzorg (Bogor) sepanjang 59 kilometer. Pembangunan jalur kereta api itu kemudian dilanjutkan ke Cicalengka melalui Cicurug - Sukabumi - Cibeber - Cianjur hingga ke Bandung. Sedang Stasiun Bandung sendiri diresmikan pada 1884.
Para tuan tanah perkebunan (Preangerplanters) masa itu menggunakan jalur kereta api untuk mengirimkan hasil perkebunannya ke Batavia dengan lebih cepat. Karena itu, di lokasi dekat Stasiun Bandung juga dibangun gudang-gudang penimbunan barang. Antara lain di Jalan Cibangkong, Jalan Cikudapateuh, daerah Kosambi, Kiaracondong, Braga, Pasirkaliki, Ciroyom, dan Andir.
Dalam perkembangannya, jalur Jakarta-Bandung menjadi favorit warga Belanda karena pemandangan alam dan hawa yang sejuk. Tidak hanya itu, Bandung akhirnya jadi kota tujuan wisata dan tempat tinggal. Karena menjadi jalur favorit warga Belanda, kereta api yang mengangkut para noni, tuan, mevrouw, dan meneer, pun menggunakan loko uap C28 yang pada saat itu menjadi lokomotif tercepat dengan kecepatan 90 km/jam. Pemerintah kolonial akhirnya mengoperasikan KA Vlugge Vier, yakni kereta ekspres Jakarta-Bandung yang dinilai elit pada zaman itu. Vlugge Vier sekelas dengan Eendaagsche Express.
Pada tahun 1909, arsitek FJA Cousin memperluas bangunan lama Stasiun Bandung, salah satunya ditandai dengan hiasan kaca patri pada peron bagian selatan yang bergaya Art Deco. Tahun 1918, stasiun ini menghubungkan Bandung-Rancaekek-Jatinangor-Tanjungsari-Citali, kemudian setahun kemudian dibangun lintas Bandung-Citeureup-Majalaya dan pada jalur yang sama dibangun jalur Citeureup-Banjaran-Pengalengan (1921). Untuk jalur ke perkebunan teh, pada tahun 1918, dibangun jalur Bandung ke Kopo dan kemudian ke Ciwidey (Maret 1921).