Pers Bumiputera Ditopang Warga Tionghoa

04 Maret 2008
Pers Bumiputera Ditopang Warga Tionghoa
SELAIN orang-orang Eropa, pertumbuhan pers di Indonesia juga ditopang oleh peran warga keturunan Tionghoa. Mereka adalah golongan kedua yang membidani lahirnya surat kabar-surat kabar berbahasa melayu pada masa Hindia Belanda.

Tak hanya itu, pers milik orang Tionghoa —kata Dewi Yuliati mengutip Heather Sutherland dalam Melacak Jejak Pers Jawa Tengah— menjadi model bagi pers bumiputera yang muncul pada masa berikutnya. Ia menjadi ruang belajar secara langsung kaum pribumi dalam bidang jurnalistik dan pengelolaannya.

Dibandingkan dengan pers Eropa, kemunculan surat kabar Tionghoa memang lebih belakangan. Jika Bataviasche Koloniale Courant —media cetak Belanda berformat surat kabar— telah terbit di Batavia tahun 1810, surat kabar milik orang-orang Tionghoa baru muncul pada awal abad Ke-20.

Ada dua kategori pers Tionghoa pada masa awal kemunculannya, yakni yang berbahasa Tiongkok dan Melayu. Kategori pertama dikelola oleh orang Tionghoa Totok, sedangkan yang kedua oleh kaum peranakan.

Abdul Wakhid dalam Lembaran Sejarah, 1999, seperti dilansir Sutrisno Budiharto, menyatakan kemunculan industri pers milik kalangan Tionghoa totok sangat dipengaruhi Soe Po Sia, yakni organisasi perkumpulan pers revolusioner Tiongkok yang berelasi langsung dengan Dr Sun Yat Sen, serta Siang Hwee, organisasi kamar dagang yang didominasi kalangan China totok. Namun, jumlah mereka sedikit, di antaranya Huauo Bao (Jakarta), Zhaowa Gong Bao (Semarang), dan Hanwen Xinbao (Surabaya).

Adapun pers milik Tionghoa peranakan muncul pascagerakan Pan-China di Jawa akibat pengaruh propaganda nasionalisme Dr Sun Yat Sen di China daratan. Li Po terbit di Sukabumi pada 1905. Surat kabar yang dikelola Tan Ging Tiong dan Yoe Tjay Siang itu memuat pelbagai pengetahuan dan adat istiadat Tionghoa.

Setelah itu, berturut-turut diikuti Pewarta Soerabaia (Surabaya-1902), Warna Warta (Semarang-1902), Chabar Perniagaan (Jakarta-1903), Djawa Tengah (Semarang-1909), dan Sin Po (Jakarta-1910), Bing Seng (Jakarta-1922), Keng Po (Jakarta-1923), Sin Jit Po (Surabaya-1924), Soeara Publiek (Surabaya-1925), dan Sin Bin (Bandung-1925).

Perangan anti-Jepang di Asia Timur Raya pada 1930-an, memicu perkembangan surat kabar Tionghoa. Kendati demikian, tidak seluruhnya anti-Jepang, seperti Mata Hari (Semarang), dan Hong Po (Jakarta).
Orientasi Politik Dari sisi orientasi politik, pers Tionghoa dibagi menjadi tiga kelompok, yakni Kelompok Sin Po, Kelompok Chung Hwa Hui, dan Kelompok Indonesier (orang Indonesia). Kelompok Sin Po menolak kewarganegaraan Belanda dan menghendaki tumbuhnya nasionalisme Tiongkok. Sementara Kelompok Chung Hwa Hui cenderung pro-Belanda, tapi masih ingin mempertahankan identitas etnisnya. Sedangkan Kelompok Indonesier tetap ingin mempertahankan identitas etniknya, tapi secara politik ingin berasimilasi dengan masyarakat lokal dan bersedia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

Kecuali terhadap Sin Tit Po, sikap Pemerintah Kolonial memandang pers Tionghoa cenderung lunak. Koran yang berafiliasi pada Partai Tionghoa Indonesia (PTI) itu, turut menyebarkan ide-ide nasionalisme Indonesia.

Sementara itu, Sin Po, meski berorientasi nasionalisme Tiongkok, tak berseberangan dengan dunia pergerakan Indonesia. Koran ini bahkan menggunakan tenaga jurnalis bumiputera yang pronasionalisme, seperti WR Supratman.

Melalui Sin Po juga ia mempublikasikan lagu Indonesia Raya.
Meski secara umum pers Tionghoa dianggap tidak berbahaya oleh pemerintah Belanda, bukan berarti tak ada pengelolanya yang dikenai delik pers. Liem Koen Hian (Keng Po), pernah dikenai denda lantaran dinilai menghina Landraad.
Pada masa pendudukan Jepang, pers tak mendapat ruang kebebasan. Demikian halnya surat kabar Tionghoa. Banyak pengelola dan jurnalis yang ditangkap, dan baru dilepaskan saat Indonesia telah merdeka. (Rukardi, dari berbagai sumber-37

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama