Budaya Jawa Mengalami Krisis Serius

Jawa sebagai konstruksi budaya selalu diidentikkan dengan kata adiluhung. Ia dianggap kaya filsafat luhur serta ajaran spritual yang agung. Maka, orang cenderung menempatkannya di wilayah steril dan tak boleh disinggung.

Padahal sejatinya tindakan itu justru membuat budaya Jawa menjadi stagnan. Ia akan gagap dalam menghadapi perubahan zaman. Agar tak terus berlanjut, Jawa perlu dikritik. Dan untuk itu perlu sebuah keberanian.

Dalam roundtable discussion ''Jawa dalam Kritik'' yang diselenggarakan Dewan Riset Daerah Jawa Tengah dan Suara Merdeka di ruang sidang redaksi, Jalan Raya Kaligawe Km 5, Sabtu (18/11), Jawa digugat habis. Keempat pembicara, yakni Prof Dr Abdul Munir Mulkhan, Mohamad Sobary, Sutanto Mendut, dan Drs Suwardi Endraswara MHum secara blak-blakan mengkritik Jawa yang konservatif.

Suwardi Endraswara misalnya, dengan tegas menyebut orang Jawa itu jelek. Untuk menguatkan tesisnya, dosen Fakultas FBS Universitas Negeri Yogyakarta tersebut memapar sejumlah fakta. Di antaranya pandai berkamuflase, bodoh, pembangkang, munafik, pendengki dan suka mendendam.

Ungkapan mikul dhuwur mendhem jero adalah contoh paling tipikal. Kalimat yang kerap disitir Pak Harto saat masih berkuasa itu dinilai Suwardi sebagai referensi sahih atas tindak kebohongan yang dilakukan. ''Maksud idiom mikul dhuwur, yang baik menurut sepihak dijunjung tinggi. Sedangkan mendhem jero, menutup segala yang gelap.''

Kemunafikan orang Jawa, papar dia, dapat dilihat dari tak selarasnya kata dengan perbuatan. Di luar menyuarakan ajaran-ajaran luhur, tapi kenyataannya gemar berbuat nista, suka berselingkuh dengan menyimpan gendakan. Sedangkan sikap pembangkangan orang Jawa dapat dirunut dari nama-nama Ken Arok, Ki Ageng Mangir, dan Sudira Waryanti.

Bagai menyambung, Mohamad Sobary menyebut borok-borok manusia Jawa. Sesuatu yang bersifat idiil bagi mereka saat ini hanya ada di angan-angan. Sastra sebagai salah satu media yang memuat kesadaran idiil itu gagal menjalin relasi dengan kekinian. Begitu pun dengan komunitas kejawen, sekadar menjadi alat klangenan.

Peneliti senior LIPI itu mencontohkan masyarakat Jawa urban yang mukim di perkotaan. Mereka yang babak-belur dalam pertarungan hidup mencari obat di dalam komunitas-komunitas semacam itu. Dan, dia merasa mendapat penghiburan atas kekalahan yang dialaminya.

Demikian halnya dengan pernyataan yang menyebut pepe dan perdikan sebagai perwujudan demokrasi ala Jawa, Sobary menyangkalnya. ''Pepe itu demokrasi omong kosong. Yen rajane kober ya ditemoni. Tapi yen ora ya modara kana. Sedangkan perdikan tak lebih sebagai upaya penyingkiran terhadap lawan raja yang dianggap membahayakan kekuasaannya.''

Dalam diskusi yang dihadiri Pemimpin Redaksi Suara Merdeka Sasongko Tedjo dan Ketua DRD Jateng Prof Dr Siti Fatimah Muis MSc itu, Sobari menegaskan bahwa Jawa saat ini tengah berada dalam krisis serius. Jawa sekadar menjadi referensi, dan akan semakin remuk jika tak segera diselamatkan.

Ironi

Abdul Munir Mulkhan mengungkap ironi Jawa sebagai kebudayaan. Di saat banyak orang asing melakukan pengagungan, di sini kian sulit menemukan orang Jawa yang mengerti tentang kejawaan. Dalam hal ini Guru Besar Fakultas Tarbiyah Universitas Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu menggunakan contoh sederhana.

Dia melihat kian menurunnya jumlah orang Jawa yang mampu berbahasa dan baca-tulis huruf Jawa untuk berkomunikasi sehari-hari. ''Pembuktian sederhana apakah sekelompok orang disebut orang Jawa atau tidak salah satunya adalah pada penggunaan bahasa dan huruf Jawa.''

Sementara Tanto Mendut menolak pengotakan Jawa sebagai sebuah wilayah teritorial. Menurutnya, Jawa itu mahaluas dan tak berbatas. Itulah mengapa dia dengan suka rela menyerahkan koleksi gamelan dan kerisnya untuk disimpan oleh seorang profesor di Warsawa.

Sutanto juga mengkritik Jawa ortodoks sebagai tatanan yang tak egaliter. Sebagai pembanding, dia menggunakan komunitas orang gunung di wilayahnya yang hidup berdasarkan naluri.

Kritik pedas keempat pembicara terhadap realitas kekinian Jawa mendapat respons beragam dari peserta diskusi yang dipandu Darmanto Jatman itu. Ketua Yayasan Swagotra Setiadji Pantjawijaya ini menilai kritik mereka tak berimbang. Selain kejelekan, kritik yang baik semestinya juga mengungkapkan sisi kebaikan. Dia lalu menyebut sejumlah keunggulan Jawa yang tak dimiliki peradaban lain, utamanya pada sisi spiritual. Satu di antaranya ngerti sak durunge winarah.

Triyanto Triwikromo yang bertindak sebagai pembahas, melihat para pembicara memandang Jawa sebagai entitas tunggal. Padahal menurut dia, senyatanya plural. Jawa, ungkap Triyanto, tak bisa dilepaskan dari unsur kebudayaan yang memengaruhinya. Dengan demikian, ketika mengkritik Jawa, mereka sesungguhnya juga mengkritik Barat, Hindu, dan tentu saja mengkritik diri-sendiri.

Yap, Jawa yang tengah dirundung krisis memang harus dikritik. Namun bisakah kritik itu dapat dikonversi menjadi energi pembangun yang membuatnya lebih baik?
(rukardi/cn05)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama