Pada tahun 1800-an, orang-orang Indonesia sudah datang ke Belanda dan tumbuh menjadi cendikiawan. Raden Moentajib Moeda adalah orang Indonesia pertama yang membuat laporan tertulis mengenai perjalanannya ke Eropa pada tahun 1868-1869. Bukan hanya Raden Moentajib Moeda saja yang bisa datang ke Belanda, tapi masih banyak nama lain lagi yang menyusul ke negeri kicir angin ini untuk menuntut ilmu di Universitas Leiden. Sedang mahasiswa pertama dari Indonesia adalah Raden Mas Isrnangoon Danoewinoto. Keberadaan orang-orang Indonsiadi Belanda tersebut pernah dikupas khusus oleh Harry A. Poeze (Sejarawan dari Universitas Leiden) dalam buku yang diterbitkan Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).
Harry A. Poeze |
Taco Roorda dan Raden Moentajib Moeda
Ketika Universitas Leiden belum ada mahasiswa dari Indonesia (kala itu masih disebut Hindia Belanda), Taco Roorda (seorang guru besar bahasa Jawa) sudah merintis berkomunikasi dengan orang Jawa yang datang ke Belanda. Kala itu, Taco Roorda, belum pernah berkunjung ke Indonesia (Hindia Belanda). Kendati demikian, Taco Roorda selalu memanfaatkan kesempatan untuk berbincang-bincang dengan orang-orang Jawa yang karena satu dan lain sebab "terdampar" di negeri Belanda.
Selama bertugas di Leiden, Taco Roorda pernah bertemu dengan Raden Moentajib Moeda asal Jawa. Raden Moentajib Moeda inilah orang Indonesia pertama yang membuat laporan tertulis mengenai perjalanannya ke Eropa pada tahun 1868-1869. Catatan perjalanan Raden Moentajib Moeda itu diterbitkan dalam bahasa Jawa pada tahun 1876. Dalam buku tersebut, Raden Moentajib Moeda menceritakan apa yang dilihat dan dilakukan selama setahun di negeri Belanda.Tulisannya sangat rinci, sampai menyerupai daftar panjang.
Selama di negeri Belanda. Moentajib Moeda tinggal bersama seorang teman Belanda. Dia kebetulan bertemu dengan Roorda yang kemudian mengundangnya untuk menghadiri ujian calon pejabat sipil di Den Haag pada bulan Juli 1869. Yang paling mengesankan bagi Moentajib Moeda adalah tidak adanya kegembiraan di antara para mahasiswa yang ujian. Ini berbeda sekali dengan apa yang ia lihat dalam ujian promosi di fakultas hukum di Leiden beberapa bulan sebelumnya. Di sana ia merasakan suasana yang riang gembira dan para hadirin bertepuk tangan, bersorak-sorai setelah upacara selesai. Moentajib Moeda tidak paham bahasa Belanda dan barangkali inilah sebabnya mengapa kurang tepat penafsirannya atas suasana di Den Haag.
Mahasiswa Indonesia Pertama di Universitas Leiden
Mahasiswa Indonesia pertama yang betul-betul terdaftar di universitas tersebut adalah Raden Mas Isrnangoon Danoewinoto. Pada tanggal 26 September 1871 namanya tercatat sebagai mahasiswa pada badan yang berafiliasi dengan universitas, yaitu Rijksinstelling tot opleiding van Indische bestuursambtenaren.3 Isrnangoon dilahirkan pada tahun 1850 dan ketika ia berusia empat belas tahun, seorang residen yang pensiun membawa pemuda yang berbakat ini bersamanya ketika ia pulang ke negeri Belanda. Dalam hal ini Isrnangoon merupakan orang pertama dalam suatu upaya yang akan berulang-ulang sampai tahun 1920, yaitu adanya pejabat-pejabat Belanda yang, didorong oleh cita-cita tanpa pamrih ingin menyebarluaskan peradaban Barat, berperan penting dalam memberikan pendidikan lanjutan kepada pemuda-pemuda Indonesia yang cerdas.
Isrnangoon ditakdirkan untuk menjadi pejabat dalam dinas sipil pemerintahan kolonial. Pada waktu itu kedudukan tersebut tidak tertutup bagi orang-orang pribumi. Kalau mereka lulus ujian "groot-ambtenaarsexamen" (ujian pangrehpraja besar), maka pada prinsipnya tidak ada halangan lain untuk mendapat kedudukan dalam administrasi pemerintahan kolonial yang biasanya dijabat oleh orang-orang Belanda. Karena belum pernah ada seorang pribumi yang lulus "groot-ambtenaarsexamen", maka belum pernah dibayangkan kesulitan-kesulitan praktis yang akan muncul kalau sampai terjadi nominasi seorang pribumi. Di dalam sistem pemerintahan Belanda yang tidak langsung, raja-raja lokal dipertahankan kedudukannya dan bekerja bersama-sama mitra mereka dalam dinas sipil (Binnenlandsch Bestuur) namun dengan posisi yang lebih rendah; penempatan seorang pribumi pada jabatan Belanda dapat mengacaukan sistem hierarki yang ketat yang merupakan struktur dasar masyarakat Jawa. Meskipun demikian, Isrnangoon diterima di Rijksinstelling dan menjadi anggota Leidsch Studenten Corps (LSC) (Korps Mahasiswa Leiden). Sesudah setahun di Leiden, oleh para tutornya ia dikirim ke sebuah pabrik di Brabant Utara dan kemudian ke suatu perusahaan dagang di Hamburg untuk memperoleh pengalaman praktis.
Pada tahun 1874 ia kembali belajar, kali ini di Delft, di sebuah institut seperti Rijksinstelling. Pada tahun 1875 ia berhasil lulus "groot-ambtenaarsexamen". Ia kembali ke Hindia Belanda dengan istrinya yang berkebangsaan Belanda. Dengan demikian ia merupakan yang pertama dari beberapa gelintir mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang menikah dengan gadis pribumi, satu hal yang tidak biasa bagi Hindia Belanda. Mungkin sekali karena alasan ini Isrnangoon, meminta dan memperoleh pengakuan sebagai "gelijkgestelde": suatu penetapan hukum yang menyatakan bahwa seorang pribumi Hindia Belanda telah melewati garis batas rasial dan berhak diperlakukan sebagai seorang Eropa. Ismangoon merasa sangat kecewa ketika permintaannya untuk mendapat tempat di Binnenlandsch Bestuur ditolak. Dia ditempatkan di Algemeene Secretarie di Batavia, yang merupakan kantor pusat pemerintahan kolonial Belanda dan kemudian kariernya berlanjut di bidang pendidikan, sebagai inspektur pendidikan pribumi. Kesulitan dan diskriminasi terus-menerus dialami Ismangoon; istri dan anaknya meninggal, dan promosi yang sepatutnya
menjadi haknya diberikan kepada mitranya yang Belanda. Dia meninggal pada tahun 1895 sebagai seorang yang sangat dikecewakan.
Bersambung ke: Orang-Orang Indonesia di Belanda (2)