Gunung Lawu dilaporkan meletus terakhir pada tanggal 28 November 1885.
Demikian catatan sejarah yang dipublikasikan Smithsonian Institution dengan berdasarkan beberapa referensi, yakni; IAVCEI, 1973-80. Post-Miocene Volcanoes of the World. IAVCEI Data Sheets, Rome: Internatl Assoc Volc Chemistry Earth's Interior; Neumann van Padang M, 1951. Indonesia. Catalog of Active Volcanoes of the World and Solfatara Fields, Rome: IAVCEI, 1: 1-271; Taverne N J M, 1926. Vulkanstudien op Java. Vulk Meded, 7: 1-132; van Bemmelen R W, 1949b. The Geology of Indonesia. The Hague: Government Printing Office, v 1, 732 p. Disebutkan, Gunung Lawu konon pernah meletus pada tanggal 1 Mei 1752, namun keterangan ini belum dapat dikonfirmasi dengan data-data referensi yang kuat.
Selain letusan 28 November 1885, Gunung Lawu tak pernah dilaporkan meletus lagi hingga 2014 ini. Kendati demikian, Kepada Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, Subandriyo, menegaskan bahwa dalam ilmu kegunungapian, tak ada jaminan gunung berapi akan mati, termasuk Gunung Lawu.
Menurut Subandriyo, suatu saat Gunung Lawu bisa aktif kembali. Namun Kepala BPPTKG Yogyakarta tidak dapat memastikan kapan Gunung Lawu akan bisa aktif kembali. Yang pasti, Subandriyo menunjukkan sejumlah fakta adanya gunung api yang pernah "tidur" ratusan tahun tiba-tiba dapat aktif kembali. Gunung Sinabung di Sumatera Utara misalnya, walau sudah "tidur" 400 tahun ternyata dapat meletus lagi pada September 2013 lalu.
Disebutkan, Gunung Sinabung merupakan gunung api tipe B, yakni gunung api yang dinyatakan tidur atau tidak aktif sejak tahun 1.600. Hal serupa, kata Subandriyo, juga pernah terjadi pada Gunung Pinatubo, Filipina. Gunung tersebut selama 600 tahun tercatat tidak pernah memiliki kegiatan vulkanik apapun. Namun pada Juni 1991, gunung itu bangkit lagi. Gunung api dengan tipe yang sama di Jawa Tengah, yakni Gunung Lawu di Karanganyar. “Gunung-gunung itu dalam geologi masuk dalam kategori gunung muda. Gunung muda, mungkin bisa aktif kembali,” ujarnya.
Di Gunung Lawu, menurut Subandriyo, aktivitas yang masih bisa dirasakan adalah terdapatnya bau belerang. Ketika berada di atas gunung di puncak Argodumilah (Hargo Dumilah), di bawah puncak itu terdapat tanah lapang. “Tanah lapang itu dulu adalah kawah Gunung Lawu,” katanya kepada Harian Jogja.
Catatan Gunung Lawu Para Pendaki
Menurut catatan para pendaki di belantara.org, Gunung Lawu (tinggi (3.265 m dpl) memiliki tiga kawah, yakni dua kawah tua di sebelah utara (biasa disebut Telaga Kuning dan Telaga Lembung Selayur), dan kawah muda di sebelah selatan (disebut Kawah Condrodimuko).
Kawah Condrodimuko berada di sebelah selatan Gunung Lawu membentuk aliran sungai yang memisahkan antara propinsi Jawa Tengah dan propinsi Jawa Timur. Kawah ini menyebarkan bau belerang yang cukup menyengat terutama di pagi hari. Pada bulan desember tahun 1978 terjadi gempa di Gunung Lawu, dan pada bulan mei tahun 1979 pergerakan magma di dalam perut Gunung Lawu, mengakibatkan gempa yang tercatat hingga 1000 kali dalam satu hari, dan yang dapat dirasakan getarannya 50 kali dalam 1 hari. Namun tidak terjadi perubahan alam maupun letusan gunung.
Tugu di puncak Gunung Lawu sudah sering dibangun karena rusak. Salah satu penyebabnya adalah karena gempa.Ketika itu Argodalem juga belum dibangun masih, berupa gubuk dari seng seperti foto jaman Belanda di bawah ini.
Berikut foto - foto Gunung Lawu koleksi TropenMuseum Belanda:
Pesona Gunung Lawu sejak jaman Belanda sudah sering dinikmati bule - bule, dengan banyaknya vila - vila di Telaga Sarangan dan Tawangmangu. Gunung Lawu dilihat dari telaga Sarangan, yang terletak di sebelah timur gunung Lawu, kelihatan sangat menawan.
Kawah Condrodimuko, kawah Gunung Lawu pada tahun 1930. Sebelum tahun 60 - an untuk mendaki gunung Lawu jalurnya melewati kawah Condrodimuko ini. Namun karena jalur ini longsor maka jalur pendakian telah berubah menjadi seperti sekarang ini. Kawah ini di pagi hari baunya sangat menyengat, letak kawah ini di dekat Pos 3 jalur Cemoro Sewu. Bila mendaki gunung Lawu lewat Cemoro Sewu mulai dari Pos 2 hingga Pos 3 kita akan mencium bau belerang.
Inilah pondok Argodalem pada tahun 1930. Kalau diperhatikan coretan pada dinding pondok bertuliskan “Toko LIEM Sarangan” menunjukan bahwa pada waktu itu sudah menjadi tradisi masyarakat sekitar Lawu untuk mendaki gunung Lawu terutama pada bulan Suro.
Vegetasi di puncak Lawu pada tahun 1912 masih nampak sangat lebat. Edelweis tumbuh diantara pepohonan yang lain.
Kawah tua Telaga Kuning di puncak gunung Lawu tahun 1910 – pada musim hujan kawah telaga kuning ini berisi air, sehingga membentuk telaga. Dahulu para peziarah melakukan ritual dengan mancelupkan badan ke dalam telaga, bila seluruh tubuhnya berhasil masuk ke dalam telaga maka, keinginannya akan terkabul. Memang agak susah berhubung air telaga tidak terlalu dalam, bahkan sering kali kering.
Inilah puncak Lawu pada tahun 1930. Para bule - bule eropa ini berfoto bersama di puncak Lawu pada tahun 1930.
Memang sejak ratusan tahun yang lalu gunung Lawu sudah sering di daki oleh para peziarah - peziarah Hindu. Di kaki gunung Lawu pun banyak terdapat candi - candi Hindu peninggalan jaman Majapahit.