Ini bukan narasi ilmiah, cuma uneg-uneg yang mewakili pendapat subjektif saya tentang isu kebangkitan PKI. Anda boleh berpendapat, saya juga. Ini pendapat saya.
Saya sama sekali tidak percaya komunisme bangkit di Indonesia. Tanya kenapa? Ideologi itu sudah tidak laku, tidak diminati orang, apalagi oleh generasi milenial. Ayo jujur, emang gampang jadi komunis? Prinsip komunisme adalah: “From each according to his ability, to each according to his needs.” Ini dawuh Eyang Kakung Karl Marx. Aslinya dalam bahasa Jerman: “Jeder nach seinen Fähigkeiten, jedem nach seinen Bedürfnissen.“
Dalam masyarakat ‘kominis’ (ejaan khas mbah-mbah buyut saya), “Setiap orang memberi sesuai kemampuannya, setiap orang mendapat sesuai dengan kebutuhuannya.” Anda doktor, lulus S3 luar negeri, tidak usah pamer ijazah. Jika anak Anda cuma 1, Anda tidak berhak dapat bayaran lebih tinggi dari tukang parkir lulusan SMP yang anaknya 5. Itu adil dalam perspektif komunisme.
Apa yang gini laku? Emang enak “sama rata sama rasa”? Mimpi komunisme kiri-kira begini: “kalau mau kaya ya kaya bareng, kalau miskin ya miskin bareng.”
Alamak! Sama rata-sama rasa hanya ada di surga. Di surga pun ada tingkatan-tingkatannya. Ada surga kelas VVIP, ada surga kelas ekonomi. Ada juga al-A’raf, tempat di antara surga dan neraka.
Jika Mbak Marx bilang kapitalisme mengidap kontradiksi internal dan menggali kuburnya sendiri, komunisme juga. Mana ada masyarakat bisa tumbuh dan berkembang kalau tidak ada kompetisi? Tanpa kompetisi, tidak ada inovasi, tidak ada kreativitas, tidak ada kemajuan. Kompetisi adalah kodrat manusia. Islam juga mengajarkan orang untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Tetapi, kompetisi juga harus tandem dengan koperasi. Ini ajaran tawassuth dalam Islam, yang tercermin dalam Pasal 33 UUD 1945.
Ajaran komunisme yang utopis ini tadi tidak pernah ada dalam praktek sejarah. Di Rusia, Lenin mendirikan negara sosialis. Ajaran Marx dimodifikasi menjadi: “From each according to his ability, to each according to his works” (Setiap orang memberi sesuai kemampuannya, setiap orang mendapat sesuai prestasinya). Di sini kerja orang dihargai. Hasrat untuk maju tumbuh. Orang tidak perlu sama-sama miskin. Orang boleh kaya, tetapi jangan terlalu timpang.
Ini pun tidak bertahan karena kendali negara terlalu kuat. Orang gerah, tidak bisa kreatif, tidak bebas ekspresi. Uni Soviet tumbang, Tembok Berlin jebol. Sosialisme-komunisme kandas. Sejarah usai, kapitalisme berjaya, kata Fukuyama. Komunisme tinggal nama. Tidak ada negara komunis. Yang ada adalah negara otoriter, dengan sistem politik tertutup, tetapi pro-pasar seperti RRT (Republik Rakyat Tiongkok).
Kalau Anda bilang RRT negara komunis, karena itu Jokowi berarti antek komunis karena akrab dengan RRT, Anda diketawai kecebong. RRT itu negara kapitalis, cuma dimodifikasi. Karena sistem politiknya tertutup, porsi negara besar. Namanya kapitalisme negara. Model begini banyak, termasuk Singapore.
Jika Jokowi akrab dengan RRT, itu bukan karena beliau turunan PKI dan antek ‘kominis’, tetapi karena yang pegang duit sekarang ini RRT. Jangankan Indonesia, Amerika aja tergantung duit RRT. Raja Salman tempo hari juga berusaha menggangsir duit RRT dalam rangka pelepasan saham perdana Saudi Aramco.
Alhasil, komunisme usang, tidak laku. Yang masih laku, dan tetap dipelajari dengan penut minat di kampus-kampus, adalah marxisme. Marxisme tidak sama dengan komunisme. Marxisme adalah filsafat kritis terhadap kapitalisme. Karena yang berjaya sekarang adalah kapitalisme dan janji kapitalisme adalah mewujudkan kesejahteraan seperti titah Adam Smith (The Wealth of Nations) dan ternyata terjadi ketimpangan dan masih banyak orang melarat, orang pinjam teori Karl Marx untuk menyoal kemiskinan. Mempelajari marxisme tidak sama dengan menjadi komunis. Orang sekadar pinjam pisau Marx untuk membedah anatomi kapitalisme.
Dan tidak usah takut, banyak pengikut Marx yang tidak paham marxisme. Karena apa? Buku babon Marx tentang kritik kapitalisme adalah Das Kapital. Tidak seperti buku lain, buku ini sulit dicerna dan dipahami, termasuk oleh pentolan partai komunis di seluruh dunia. Dulu, sewaktu kuliah dan Orde Baru lagi berjaya, kiri itu ‘seksi.’ Saya juga ingin terlihat seksi dengan menenteng-nenteng buku Das Kapital (edisi Inggris yang saya punya Capital), meski tidak paham isinya.
Sekarang kita pindah ke soal PKI. Saya tidak percaya PKI bangkit. Apa indikatornya? Mayjen (Purn) Kivlan Zen dalam acara ILC TVOne bilang, indikatornya adalah adalah suara-suara yang ingin Tap MPRS No. 25/1966 dicabut. Saya merasa ini dibesar-besarkan.
Dulu Gus Dur punya ide mencabut Tap ini untuk membuka pintu rekonsiliasi. Apa berarti Gus Dur komunis?
Ada banyak tafsir dan teori seputar kejadian tahun 1965. Selama ini tafsirnya dimonopoli Orde Baru: PKI bersalah, berontak, dan layak dibantai semua pengikut dan simpatisannya. Titik! Saya orang NU dan yakin PKI bersalah di tahun 1965 dan tahun 1948. Di tahun 1950-an, abah saya adalah santri Tebuireng, Jombang. Pengasuhnya waktu itu KH. Abdul Kholiq Hasyim, putra Hadlratus Syeikh yang terkenal ‘jaduk’ alias sakti. Semua santri waktu itu digembleng hizib. Untuk apa? Melawan PKI yang aktif memprovokasi kekerasan, termasuk di kantong-kantong NU.
Setelah gagal berontak di Madiun tahun 1948, PKI terus berambisi mengambil alih kekuasaan dan mempengaruhi Bung Karno. Situasi di bawah panas. Kediri, Blitar, Jombang, dan tempat-tempat lain bergolak. Berdasarkan hikayat lisan, banyak kiai-kiai NU dipersekusi PKI. NU tentu saja melawan.
Jadi, teori yang bilang PKI murni korban dalam kasus 1965, pasti ditolak NU. Mereka berhadap-hadapan di lapangan. Sepanjang tahun 50-60an, situasinya seperti “kill or to be killed.” Namun, teori yang menimpakan semua kesalahan kepada PKI sehingga mereka layak dihabisi secara brutal, juga tidak adil.
Sudah banyak sumber kritis yang menyebut tensi sosial yang eskalatif itu ditunggangi oleh lanskap Perang Dingin yang agendanya membersihkan pengaruh komunisme di seluruh dunia. Mereka pakai alat ABRI yang terbelah dan kemudian menyuplai logistik untuk membantai PKI. Tensi sosial di bawah yang keras cocok dengan skenario benturan. NU yang sudah sering bersitegang dengan PKI menjadi mitra dalam mewujudkan skenario itu. Terjadilah kemudian peristiwa berdarah yang mengerikan. Semua orang gelap mata. Korban juga banyak berasal dari orang yang tidak bersalah. Tahu-tahu mereka diangkut, disiksa, asetnya dijarah.
Gus Dur bilang, banyak pihak dalam peristiwa 1965 adalah korban keaadaan. Karena itu, beliau berbesar hati meminta maaf. Tetapi saya syok, Pram (Pramoedya Ananta Toer), sastrawan Lekra yang karya-karyanya dikagumi, tidak menunjukkan akhlak terpuji. Dengan pongah dia menampik uluran tangan Gus Dur.
Prahara 1965 adalah salah satu bab terkelam dari sejarah Indonesia. Kita tahu, pihak-pihak yang ingin kejelasan duduk perkara 1965 tidak bisa serta merta dianggap mewakili aspirasi PKI. Menuntut negara meminta maaf kepada PKI dan menyatakan PKI tidak bersalah pasti ditolak banyak orang, karena PKI terbukti terlibat dalam kekerasan sosial dan pemberontakan. Tetapi, memberikan keadilan kepada korban yang tidak bersalah: korban salah tangkap, korban stigma, dan korban keadaan perlu dilakukan.
Caranya rekonsiliasi kultural alamiah seperti yang dilakukan NU. Banyak kiai NU di Jawa menjadi ayah asuh bagi anak-anak keturunan PKI. Cara ini merupakan mekanisme kultural terbaik ketimbang menyeret Indonesia ke Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 di Den Haag oleh satu pihak dan membangkitkan sentimen anti-PKI sebagai dagangan politik di pihak lain. Dua-duanya tidak elok! Hanya bikin perpecahan bangsa.
Saya ingin mencapai kesimpulan saya sendiri. Anda boleh menyimpulkan yang lain.
Pertama, orang-orang yang menuntut keadilan dan kejelasan peristiwa 1965 tidak otomatis PKI. Seperti Gus Dur, banyak kalangan adalah pejuang keadilan dan kemanusiaan.
Kedua, kebangkitan PKI hanya dagangan politik. Komunisme sudah tidak laku. Dia hantu yang dipelihara untuk konsolidasi agenda politik. Siapa pelakunya dan apa agendanya? Kalau Anda baca buku Robert Dreyfus, Devil’s Game, isu komunisme ini mengena di kelompok Islam Kanan. Dulu, Jamaluddin al-Afghani membangkitkan Pan-Islamisme dengan dukungan Inggris. Agendanya adalah menyingkirkan pengaruh komunisme di Asia Tengah, Afrika, dan Asia Barat Daya. Spirit revivalisme Islam dibangkitkan untuk melawan pengaruh Rusia di daerah-daerah itu. Dan berhasil!
Pola ini terus digunakan. Dalam lanskap Perang Dingin, Amerika dan Inggris melatih para Jihadis di Afghanistan untuk melawan Rusia. Isunya Islam lawan komunisme. Setelah sukses mengusir Rusia, mereka kelak membentuk al-Qaeda dan menabrak Pentagon dan WTC. Senjata makan tuan! Di Indonesia, petanya jelas sekali. Setelah sukses memenangkan Gubernur DKI, politik Islam bersiap-siap menyongsong Pilpres 2019. Banyak di antara pendukung Gubernur DKI terpilih kemarin yakin bahkan haqqul yaqin Jokowi adalah keturunan PKI. Dan, seperti pola di belahan dunia lain di masa lalu, isu Pilpres 2019 adalah Islam lawan komunisme. Sekarang baru pemansan.
Anda tahu sendiri, siapa yang dianggap representasi Islam, siapa yang dianggap wakil PKI. Dalam politik, wakil Islam tidak harus mengerti Islam. Yang penting, dia mendengungkan aspirasi kelompok Islam. NU adalah pelaku sejarah yang tidak akan mengikuti agenda begini. NU cintra NKRI, cinta Islam, dan cinta Indonesia. Demikian.
Penulis adalah Sekjen PP ISNU
Posting Komentar