Orang-Orang Indonesia di Belanda (8): Keberhasilan Raden Ngabehi Poerbatjaraka

Orang-orang Indonesia tempo dulu yang bisa menempuh kuliah di perguruan tinggi Belanda, banyak yang tertarik mempelajari hukum. Mahasiswa Indonesia yang belajar di luar fakultas hukum, terbilang tidak banyak. Mereka yang belajar matematika atau sastra hanya sedikit. Kendati demikian, ada juga yang mampu menunjukkan keberhasilan. Salah satunya adalah Raden Ngabehi Poerbatjaraka. Kisah mereka yang gagal dan berhasil juga diungkap oleh Harry A. Poeze (Sejarawan dari Universitas Leiden) dalam buku yang diterbitkan Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).
Raden Ngabehi Poerbatjaraka
Selain di Fakultas Hukum tidak banyak mahasiswa Indonesia yang menempuh kuliah di fakultas lain. Pada tahun 1921 Harsoadi mulai belajar matematika. Dia mendapat beasiswa F 800 per tahun untuk waktu tujuh tahun, jumlah yang diberikan kepada semua pemegang beasiswa waktu itu. Harsoadi tidak
berhasil; dia dikembalikan pada bulan Desember 1924.

Di Fakultas Sastra ada tiga mahasiswa Indonesia. Pandoe Soeradhiningrat dikirim oleh penguasa Hindia Belanda untuk belajar bahasa Jepang agar dapat bekerja sebagai pengalih bahasa bagi misi diplomatik Belanda di Tokyo. Soeleiman menerima beasiswa selama satu tahun untuk belajar dan menperoleh diploma guru bahasa Melayu dan Jawa di Sekolah Lanjutan. Akan tetapi, rupanya ia tidak berniat kembali ke Indonesia setelah satu tahun. Ia beralih ke bahasa-bahasa Indonesia di Leiden tetapi tidak banyak mencapai kemajuan. Sebagai mata pencaharian ia mengajar bahasa Melayu dan Jawa, mula-mula di Utrecht, kemudian di Leiden. Rupanya ia dan istri-Belandanya menetap di negeri Belanda karena pada tahun 1940 ia masih aktif di Leiden.

Keberhasilan Raden Ngabehi Poerbatjaraka
Mahasiswa ketiga berikut ini merupakan kisah keberhasilan. Raden Ngabehi Poerbatjaraka, yang dilahirkan di Solo, sejak usia muda sudah tertarik pada bahasa Jawa Kuna dan sejarah pra-kolonial Pulau Jawa. Kecerdasan dan kerajinannya menarik perhatian sang residen. Pola yang sudah tidak asing mulai diberlakukan lagi. Pemuda ini ditaruh di bawah asuhan pakar-pakar Belanda, terutama Dr. N.J. Krom, dan mendapat pendidikan yang sesuai. Kekurangannya dalam pendidikan formal tidak menjadi penghalang baginya untuk menerbitkan tulisan-tulisannya dalam majalah-majalah ilmiah. Para mentornya kemudian memutuskan bahwa akan sangat bermanfaat apabila ia diperkenalkan kepada ilmuwan-ilmuwan dan institusi-institusi Belanda. Segera ditemukan alasan untuk melaksanakan ini; Poerbatjaraka diangkat sebagai pengganti Samsi Sastrowidagdo. Dia diperkenankan mengikuti kuliah bahasa-bahasa Indonesia dengan ijin khusus dari Universitas dan Kementerian. Sebagai guru ia tidak begitu berhasil, karena penguasaan bahasa Belandanya yang terbatas tidak memungkinkan pengalihan pengetahuan secara efisien. Akan tetapi, studinya berjalan lancar.

Pada bulan Juni 1926 dia berhasil mendapat gelar doktornya. Dengan kata-kata berbunga ia menyampaikan terima kasihnya kepada Krom, yang waktu itu menjadi guru besar di Leiden, "Perasaan yang ada di dalam hati saya untuk semua yang telah Anda lakukan bagi saya tidak dapat saya ungkapkan dalam bahasa-bahasa yang saya kuasai. Akan tetapi, karena hati saya mendorong saya untuk berbicara, betapapun banyaknya kekurangannya, saya ingin mengatakan kepada Anda dalam beberapa kata sesuai adat Jawa, 'Anda telah menjadikan saya manusia yang terhormat.' "

Menurut Harry A. Poeze, Poerbatjaraka bukanlah seseorang yang mengagumi ilmu dan administrasi Belanda secara membudak. Dengan bangga ia membina kebudayaan Jawa melalui tulisannya, kuliahnya, dan pergelaran tari-tariannya. Apabila .perlu ia bisa, dengan keras dan emosional, mengecam orang-orang Belanda. Sekembalinya di tanah air, Poerbatjaraka mulai membina kariernya yang berhasil di bidang spesialisasinya, yang menjadikan dia pakar utama di Indonesia dalam bidang bahasa Jawa.

Kiprah Raden Ngabehi Poerbatjaraka di Tanah Air 
Apa saja yang dilakukan Raden Ngabehi Poerbatjaraka setelah kembali ke Indonesia? Dari berbagai sumber lain terungkap bahwa peran Raden Ngabehi Poerbatjaraka dalam melestarikan sastra Jawa terbilang besar. Sekembalinya di Museum Gajah pada tahun 1930-an, ia diberi pekerjaan sebagai kurator naskah manuskrip dan diberi tugas untuk mengkatalogisasi semua naskah Jawa. Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi profesor di Universitas Indonesia, Jakarta, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Bahkan di Denpasar, ia lah yang mendirikan Fakultas Sastra.

Sarjana Belanda Dr. C. Hooykas. Poerbatjaroko menjuluki Poerbatjaraka sebagai perintis dalam bidang lapangan monografi dan epigrafi pertama di Indonesia. Ia sangat ahli dalam bidang studi kakawin Smaradahana. Sejak tahun 1914 Poerbotjaroko telah menghasilkan 73 judul tulisan dalam bahasa Belanda. Pada tanggal 3 Mei 1964 civitas akademika Universitas Nasional Jakarta memberinya gelar “Mpu” atas jasa-jasanya di bidang penelitian dan pengembangan ilmu sastra di Indonesia. Prof. Dr. Poerbotjaroko meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1964. Karya Poerbotjaroko menghasilkan banyak sekali karya tulis di bidang ilmu sastra dan sejarah nusantara. Salah satunya berudul De dood van R Wijaya den eersten Koning en stichter van Majapahit (Kematian Raden Wijaya, Raja Pertama dan Pendiri Majapahit).

Poerbatjaraka juga mendapat sebutan sebagai  "Bapak Perintis Ilmu Sastra Indonesia".  Ia melakukan penelitian di bidang sastra Indonesia kuno, kususnya bahasa Jawa. Berkat jasa penelitian dan terjemahan Prof. Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatajraka pula masyarakat Indonesia masa kini bisa menikmatai  Sendratari Ramayana, membaca Ramayana, Arjunawiwaha, Dewa Ruci, Smaradahana, Nitisastra dan warisan kekayaan Sastra Indonesia dari Jawa yang begitu melimpah.



Lebih baru Lebih lama