Orang-Orang Indonesia di Belanda (2): Kakak RA Kartini Kuliah di Fakultas Sastra Tahun 1901

Sebelum tahun 1900, ada dua orang Indonesia (Hindia Belanda) lagi yang datang ke Leiden. Kedua orang itu keturunan Cina: yakni Oei Jan Lee dan Lim Nyat Fa. Setelah itu ada Raden Mas Panji Sosrokartono yang terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Sastra pada bulan Oktober 1901. Setahun sebelumnya, yaitu pada bulan November 1900, Hendrik Karel Manupassa, asal Saparua (Maluku), terdaftar sebagai mahasiswa pada Fakultas Sastra. Keberadaan mereka di Belanda juga diungkap Harry A. Poeze (Sejarawan dari Universitas Leiden) dalam buku yang diterbitkan Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).

Raden Mas Panji Sosrokartono

Dua Mahasiswa Indonesia Keturunan Cina
Harry A. Poeze menyebutkan, Oei Jan Lee datang ke Leiden pada tahun 1883 saat berumur dua puluh tahun. Dia menjadi mahasiswa hukum. Sedang Lim Nyat Fa datang pada tahun 1890 sebagai mahasiswa kedokteran dan lulus pada tahun 1888. Sayanya, Harry A. Poeze tidak memiliki informasi lebih lengkap tentang riwayat kehidupan Oei Jan Lee.

Lim Nyat Fa, lahir di Bangka pada 1871, adalah anak dari agen perusahaan perkapalan di pulau itu, Nederlandsche Stoomvaartmaatschappij, yang menguasai perkapalan di wilayah Hindia Belanda. Bapaknya menyesalkan bahwa kesempatan belajar bagi anaknya di Hindia Belanda hampir tidak ada. Ia memutuskan untuk mengirim anaknya ke Nederland, dan dengan demikian pada usia sepuluh tahun anaknya masuk sekolah dasar di Breda. Bapak yang kaya ini yakin bahwa hanya pendidikan di lingkungan yang sepenuhnya Belanda akan dapat menjamin kesempatan kerja yang cemerlang bagi anaknya dalam masyarakat kolonial. Ternyata anaknya tidak mengecewakan harapan ayahnya. Ia belajar ilmu kedokteran di Leiden dan diterima sepenuhnya sebagai anggota masyarakat universitas, hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya jabatan eksekutif yang ia pegang dalam LSC.

Lim Nyat Fa kembali ke Hindia Belanda dengan istrinya, seorang wanita Belanda. Dia melepaskan praktik pribadinya yang sangat berhasil di Batavia untuk menerima pekerjaan sebagai dokter pemerintah dengan penghasilan kecil di Semarang. Di sini ia mendapat pujian dari rekan-rekan dan pasiennya karena usaha-usahanya yang berhasil dalam menata kembali pelayanan kesehatan dan rumah sakit yang dikelola pemerintah daerah dan yang dalam keadaan sangat memprihatinkan. Dia meninggal pada tahun 1927.

Mahasiswa dari Maluku
Menurut catatan dalam Jaarboek atau buku tahunan, pada bulan November 1900, Hendrik Karel Manupassa, umur 34 tahun dan kelahiran Saparua (Maluku), terdaftar sebagai mahasiswa pada Fakultas Sastra.Usai kuliah, Manupassa menjadi pegawai pemerintah, seperti ayahnya yang ditugaskan di Ambon dan Batavia. Ada kemungkinan bahwa ia juga menjadi "gelijkgestelde", seperti banyak orang Maluku lainnya.

Karier Manupassa dalam pemerintahan sipil Belanda cukup berhasil. Dia bertugas di Sulawesi dan Bangka selama sepuluh tahun sebelum pergi ke negeri Belanda. Sebagai seorang pegawai dinas sipil Belanda ia berhak, seperti rekan-rekan Belanda, untuk cuti di Belanda. Dia memanfaatkan kesempatan itu untuk mengikuti kuliah-kuliah di universitas, mungkin sebagai pendengar, karena ia tidak memiliki diploma gymnasium yang menjadi prasyaratnya. Sesudah satu tahun Manupassa kembali ke Hindia Belanda. Kariernya berjalan lancar; dia dipensiunkan sebagai asisten residen Lombok.

Tampaknya, Manupassa salah satu dari sejumlah kecil orang Indonesia yang berhasil mencapai kedudukan begitu tinggi dalam kepangkatan dinas sipil. Akan menarik sekali untuk meninjau kebijakan pemerintah Hindia Belanda mengenai pejabat-pejabat pribumi dalam dinas sipil, dengan memakai kasus Ismangoon dan Manupassa sebagai contoh, tetapi ini akan jauh melampaui cakupan tulisan ini.


Raden Mas Panji Sosrokartono
Kakak RA Kartini, Raden Mas Panji Sosrokartono, sudah berada di negeri Belanda sejak tahun 1896 untuk mulai belajar di Sekolah Politeknik di Delft. Namun, lelaki kelahiran Kabupaten Jepara itu merasa kurang berminat pada bidang teknik dan merasa lebih suka mempelajari bidang humaniora.Karena itu, Raden Mas Panji Sosrokartono akhirnya  mendaftar sebagai mahasiswa Fakultas Sastra pada bulan Oktober 1901.

Pada tahun 1901 Sosrokartono sudah mulai terkenal. Dia merupakan orang Indonesia pertama yang berbicara di depan umum di negeri Belanda. Pada tahun 1899 dia berbicara dalam Kongres Sastra dan Filologi Belanda yang ke-25, mengenai keadaan bahasa Belanda di Jawa. Makalahnya jelas dan tersusun rapi, dan isinya secara moderat mengecam administrasi Pemerintah Belanda. Akan tetapi, dia juga menunjukkan dirinya sebagai warga yang setia kepada pemerintah Hindia Belanda, yang merasa yakin bahwa pemerintahan Belanda menguntungkan masyarakat dan penduduk Jawa. Pidato Sang "Pangeran Jawa" disambut dengan meriah oleh Kongres.

Profesor H. Kern, yang sudah tua dan terkenal otoriter, menaruh simpati pada pemuda Jawa ini dan membantunya dalam upayanya memasuki Universitas Leiden. Ia berhasil lulus ujian masuk dan menjadi mahasiswa Indonesia pertama yang berwenang penuh. Pada rnulanya studinya berjalan mulus; pada bulan Juni 1903 ia lulus ujian B.A. dalam bidang "Ilmu Bahasa dan Sastra Kepulauan Hindia-Timur". Sesuaidengan kurikulumnya, ia mempelajari bahasa Jawa, Melayu, Arab, Sansekerta, dan sejarah Islam dan Hindia. Di samping itu, mahasiswa yang berbakat ini juga mengikuti kuliah bahasa-bahasa lain, seperti Rusia, Cina, dan Jepang. Dengan cara ini dan cara-cara lain ia berhasil menguasai tidak kurang dari 9 bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Riwayat akademik Sosrokartono tidak lepas dari masalah. Pada bulan Maret 1908 ia baru memperoleh gelar Sarjananya. Ia berencana menulis disertasi mengenai bahasa Jawa menengah, tetapi rencana ini tidak pernah terwujud. Beberapa alasan disebutkan sebagai penyebabnya.

Sumber-sumber Indonesia yang bersimpati kepada Sosrokartono mengatakan bahwa kelambatan dan kegagalannya disebabkan oleh Snouck Hurgronje yang diangkat sebagai profesor pada tahun 1907. Pikiran Sosrokartono yang maju bertentangan dengan pandangan Snouck yang kolot dan kolonial, dan oleh karena itu Snouck sengaja mempersulit studi Sosrokartono. Sumber-sumber lain, yang berasal dari pihak Belanda, memberikan informasi berbeda. Sosrokartono jelas tidak dapat melawan godaan-godaan kehidupan secara Barat. Dia sangat populer sebagai "pangeran Jawa", dan dia selalu disanjung oleh teman-teman Belandanya sebagai seorang pribumi teladan yang tanggap terhadap ilmu dan pengetahuan Barat. Pemuda ini ternyata juga menumpuk utang dalam jumlah besar.

Pakar-pakar dalam bidang ilmu etika dan para politikus yang semula sangat memperhatikannya berangsur menjauhkan diri. GJ. Oudemans, pejabat pemerintah yang bertugas, antara lain, mengawasi dan mengurusi mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri Belanda, dalam  laporan tahunannya pada tahun 1917 menulis tentang Sosrokartono sebagai seorang yang "sangat tidak dapat diandalkan dan tidak berguna". Pada waktu itu ia tinggal di Den Haag, di suatu tempat yang hanya diketahui oleh beberapa teman dekatnya, karena khawatir akan didatangi para kreditornya yang akan menyita barang-barang miliknya. Karena alasan ini juga ia berusaha tidak menonjolkan diri.

Namun, di kalangan mahasiswa Indonesia, gengsinya makin naik. Kecemerlangan inteleknya, pengalamannya yang luas mengenai Belanda, dan kesediaannya untuk membantu teman-teman setanah airnya, meninggalkan kesan yang sangat mendalam. Pada tahun 1925 Sosrokartono kembali ke Hindia Belanda, setelah bekerja sebagai wartawan pada beberapa koran Amerika dan sebagai pengalih bahasa pada Liga Bangsa-Bangsa. Dia adalah seorang wartawan pertama di Indonesia yang bisa memotret gunung dari atas udara. Di Indonesia ia menjadi terkenal dan sangat dihormati sebagai seorang mistis dan tabib. Kepintaran Raden Mas Panji Sosrokartono ini juga memberi inspirasi kepada RA Kartini untuk menjadi tokoh emansipasi wanita.
Lebih baru Lebih lama