Orang-Orang Indonesia di Belanda (15): Solidaritas Mahasiswa dan Keberhasilan 27 Alumni Leiden

Harry A. Poeze (Sejarawan dari Universitas Leiden) mengatakan, Universitas Leiden dapat berbangga karena telah memberi bentuk kepada gagasan dan cita-cita sejumlah cendekiawan Indonesia, terutama para ahli hukumnya. Gagasan dän cita-cita mereka sangat mempengaruhi ideologi dan tindakan gerakan nasionalisme pada zaman kolonial. Di rumah-rumah mahasiswa di Leiden dan di tempat-tempat pemondokan, gagasan Indonesia merdeka mendapat perwujudannya. Di antara mahasiswa-mahasiswa ini akhirnya bisa menduduki jabatan-jabatan tertinggi ketika Indonesia merdeka. Tidak kurang dari 27 alumni Leiden mencapai kedudukan tingkat menteri. Selama kulih di Belanda, mereka juga membangun solidaritas antar mahasiswa.

Husein Jayadiningrat (duduk paling kiri)

Solidaritas antar-Indonesia dipraktikkan dalam Algemeene Aziatische Studieclub (Kelompok Belajar Orang-Orang Asia), yang dikelola oleh tiga mahasiswa Indonesia dan tiga mahasiswa Cina. Untuk mencapai sasarannya, kelompok studi ini mengadakan ceramah, piknik, dan memberikan informasi. Sulit diperkirakan sejauh mana mahasiswa Indonesia dan Cina merupakan kelompok terpisah, dan sejauh mana mereka bergaul secara eksklusif dengan teman-teman senegara saja. 

Dalam almanak tahunan LSC terdapat daftar nama dan alamat para mahasiswa di Leiden, yang dibagi atas anggota, bukan anggota, dan anggota wanita. Sampai tahun 1920, jumlah anggota dan bukan anggota sama, dan secara proporsional lebih banyak mahasiswa Cina daripada mahasiswa Indonesia di LSC. Kemudian perbandingan ini berubah, dan ini merugikan LSC. Selama beberapa waktu, jumlah anggotanya tetap sepuluh orang, dan kemudian menurun  pada tahun tiga puluhan. Pada tahun 1939 ada lima anggota Indonesia - yaitu keempat putra Sultan dan Hertog - dan tiga anggota Cina. Jelas bahwa LSC dianggap konservatif dan hanya untuk golongan elit saja. Namun, mereka yang bergabung dalam LSC tidak memisahkan diri dari teman-teman Belanda mereka. Mereka ikut mengambil bagian secara aktif dalam subkelompok sosial dan pendidikan LSC dan ikut memimpin kelompok-kelompok ini.

Hoesein Djajadiningrat memberi contoh yang baik seperti juga Hirawan, putra Sri Soenan, dan Maramis sebelum dia menjadi mahasiswa radikal bersama PI, dan Dorodjatoen. Juga dalam organisasi keolahragaan, yang disponsori LSC, nama orang-orang Indonesia kadangkadang disebut. Perkumpulan mendayung Njord mempekerjakan orangorang Indonesia yang bertubuh langsing sebagai pendayung; T.P. Ongkiehong seorang pemain tenis yang baik, dan Dorodjatoen pemain sepak bola yang getol. 

Mengenai keikutsertaan orang-orang Indonesia dan Cina dalam organisasi mahasiswa umum tidak ada datanya. Dalam organisasi mahasiswa dari gabungan fakultas-fakultas yang didirikan pada tahun 1928, pada umumnya dua jabatan eksekutif dipegang oleh seorang Indonesia dan seorang Cina. Hanya satu kali terjadi seorang Indonesia dipilih untuk jabatan ketua, yaitu Dorodjatoen, untuk periode 1938-1939. Jadi, kedua kelompok besar ini selalu ada perwakilannya. Di dalam fakultas juga ada pembahasan-pembahasan yang bersifat khusus mengenai masalah-masalah Oriental dan Indonesia. Untuk maksud ini orang-orang Indonesia, Cina, dan Belanda bertemu dalam kelompok diskusi Leidsch Oriëntalistisch Dispuut, Leidsch Dispuut "Ganeça", dan Algemeen Indisch-Juridisch Dispuut "Krsna".

Tidak dapat diragukan bahwa sebagian besar kehidupan sosial orang-orang Indonesia dan Cina berlangsung di dalam lingkungannya sendiri. Pada tahun dua puluhan PI memang memupuk sikap eksklusif ini, tetapi tanpa dorongan dari siapa pun orang-orang Indonesia dengan sendirinya berkumpul bersama di Clubhuis Indonesia di bawah perlindungan PI dan ROEPI. Restoran-restoran Indonesia juga menjadi tempat bertemu secara informal. Hampir semua orang Indonesia mempertahankan kebiasaan makan mereka dan hal ini memang bisa dilakukan. Di Leiden dan Den Haag ada banyak kesempatan untuk ini. Sistem makanan rantang yang diantar ke rumah juga merupakan hal yang biasa. Banyak orang Indonesia dan Cina menyewa rumah bersama-sama teman setanah air. Dengan cara ini sewanya bisa menjadi lebih murah dan rasa rindu kampung halaman bisa teratasi. Salah satu contoh: Ali Sastroamidjojo menyewa rumah di Wasstraat yang dihuni oleh dia, istrinya, dan anak mereka, bersama-sama empat mahasiswa lainnya.'5 Rumahrumah semacam itu, yang banyak jumlahnya, merupakan "tempat pesemaian" gagasan-gagasan "jahat"; karena di sinilah cita-cita Indonesia merdeka diungkapkan.

Kira-kira seperempat dari seluruh jumlah orang-orang Indonesia dan Cina tinggal di Den Haag, yang pada masa kolonial itu secara tradisional merupakan tempat menetap orang-orang Belanda atau yang sekadar datang untuk berlibur. Kehidupan kota dan fasilitas-fasilitasnya berciri khas Hindia Belanda. Dan inilah yang membuat kota ini menarik bagi orang-orang Indonesia dan Cina di negeri Belanda.

Perang Dunia II dan pendudukan Jerman atas Belanda menandai berakhirnya suatu era. Hubungan Indonesia dan Belanda terputus sama sekali, dengan semua akibat kesulitan emosional dan finansial bagi para mahasiswa Indonesia. Pendudukan Jepang atas Indonesia dan perkembangan sosial dan politik yang terjadi, berperan penting dalam memperbesar jurang pemisahnya. Ketika Jepang menyerah, tampak jelas bahwa masa lampau tidak akan kembali lagi. Ini sudah barang tentu mempengaruhi keberangkatan mahasiswa Indonesia ke negeri Belanda.

Bagi mahasiswa Indonesia di Leiden, yang dikurung dalam wilayah Belanda pada tahun 1940, mulai masa penuh kepahitan. Perjuangan untuk mempertahankan nyawa menjadi yang paling utama; studi tidak bisa dilanjutkan; penyakit mengancam kesehatannya. Di antara mahasiswa Leiden kira-kira lima belas orang meninggal dunia; dan memang tidak dapat disalahkan jika sisanya, pada tahun 1945, menamakan dirinya sebagai bagian dari generasi yang terhilang.


Lebih baru Lebih lama