Orang-Orang Indonesia di Belanda (11): Perubahan Minat Mahasiswa dan Tampilnya Tokoh Politik Nasional

Jumlah mahasiswa baru dari Indonesia di Belanda sesudah tahun 1930 mula-mula tidak menyusut. Pada tahun 1931 dan 1932 lebih dari 20 mahasiswa dan kira-kira 10 mahasiswa Cina mendaftarkan diri. Sesudah itu barulah jumlahnya menurun perlahan-lahan. Perkembangan mahasiswa Indonesia di Belanda itu diungkap oleh Harry A. Poeze (Sejarawan dari Universitas Leiden) dalam buku yang diterbitkan Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).

Alexander Andries Maramis jadi Menteri Keuangan Republik Indonesia ke-2


Fakultas Hukum makin menarik banyak mahasiswa Cina. Dari tahun 1923 sampai 1930 Hukum Belanda dan Hindia juga menjadi favorit di antara mahasiswa Cina, dan jumlah mahasiswa yang mendaftar di fakultas ini sama dengan jumlah yang mendaftar di Fakultas Kedokteran dan Farmasi. Di samping ini, mahasiswa-mahasiswa yang menjadi asisten-dosen juga masih aktif. Zain dan Poerbatjaraka sudah pergi dan digantikan oleh H. Ismail dan M. Prawiroatmodjo pada tahun 1926. Kemudian pada tahun 1930 mereka ini diganti oleh Soejoed Martosoehardjo. Akan tetapi, karena penghematan atas anggaran universitas yang dilakukan pemerintah, keduanya diberhentikan pada tahun 1933.

Di antara mahasiswa-mahasiswa hukum di Belanda, banyak yang mampu tampil sebagai tokoh-politik nasional di Indonesia. Mereka umumnya menjalani masa pembentukan saat aktif dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) sampai tahun 1942, dilanjutkan dengan kegiatan mereka dalam partai-partai nasional, yang kegiatan politiknya didasarkan atas asas yang mendasari PL Setelah Indonesia merdeka banyak yang menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan, di antaranya adalah: Soebardjo, Maramis, Ali Sastroamidjojo, Soesanto Tirtoprodjo, Iwa Koesoemasoemantri, Sartono, Iskaq Tjokroadisoerjo, dan Soenarjo.

Berbeda dari apa yang diperkirakan, jumlah mahasiswa baru sesudah tahun 1930 mula-mula tidak menyusut. Pada tahun 1931 dan 1932 lebih dari 20 mahasiswa dan kira-kira 10 mahasiswa Cina mendaftarkan diri. Sesudah itu barulah jumlahnya menurun perlahan-lahan. Mungkin ini disebabkan oleh depresi yang sedang melanda dunia waktu itu, sehingga hanya sedikit sekali yang bisa membiayai studi yang begitu lama dan mahal. Pengurangan drastis dalam anggaran pemerintah juga berdampak pada beasiswa. Hampir semuanya dihentikan. Mahasiswa hukum dan kedokteran dikembalikan ke fakultas yang sama di Batavia. Keadaan ini makin terasa sesudah tahun 1934 ketika yang mendaftar dari Indonesia hanya sekitar 10, sama dengan jumlah mahasiswa yang masuk. Ini berarti jumlah seluruh mahasiswa Indonesia di Leiden mencapai maksimumnya antara tahun 1933-1934, yaitu 140 orang, yang terdiri atas 80 orang Indonesia dan 60 orang Cina. Jumlah ini menurun perlahan-lahan sehingga mencapai 100 orang pada tahun 1939, yaitu 60 Indonesia dan 40 Cina.

Tampaknya ada perubahan dalam selera orang Indonesia pada tahun tiga puluhan. Pada tahun-tahun pertama Hukum Hindia Belanda menarik minat sebagian besar pendatang, namun peminat untuk bidang kedokteran juga makin lama makin meningkat. Mulai tahun 1936 kecenderungannya berbalik. Yang mendaftarkan untuk Hukum Hindia Belanda makin berkurang, sehingga jumlah mahasiswa kedokteran menjadi lebih besar walaupun jumlah yang masuk fakultas ini tetap. Untuk mahasiswamahasiswa Cina tampak kecenderungan yang berlawanan. Peminat untuk Hukum Hindia Belanda meningkat, sedangkan untuk kedokteran menurun. Farmasi masih tetap seperti sediakala dan dalam masa sepuluh tahun secara keseluruhan jumlah mahasiswanya lebih banyak daripada yang terdaftar di Fakultas Kedokteran.

Mahasiswa Fakultas Sastra bisa menjadi bahan ilustrasi yang baik untuk ini. Sampai tahun 1931 setiap tahun ada satu atau dua mahasiswa yang mendapat beasiswa karena fakultas ini belum ada di Batavia. Sesudah tahun 1931 beasiswa ini juga dihapuskan sehubungan dengan tindakan penghematan. Hanya Prijono yang bisa menyelesaikan pelajarannya; dengan beasiswa swasta ia mendapat kesempatan untuk menulis tesisnya yang ia pertahankan pada tahun 1938. Satu-satunya mahasiswa filsafat, yaitu Raden Sigit, lulus pada tahun 1932. L J J . Palar dari Menado adalah satu-satunya orang Indonesia yang mencoba mempelajari sastra Belanda, tetapi tidak berhasil.

Seorang mantan regent yang berkuasa dan berpangkat tinggi dalam birokrasi Indonesia, Soejono, mendaftar pada tahun 1935, mungkin sebagai pendengar. Putrinya, Soepianti, menyusul pada tahun 1936. Seorang veteran lain, Nimpoeno, guru bahasa Jawa dan Melayu dan penulis beberapa buku teks, di samping kegiatannya sebagai pemimpin orang-orang Indonesia yang beragama Protestan di Belanda, juga mendaftar di Fakultas Sastra pada tahun 1938.

Satu kasus yang unik adalah kasus Todoeng Soetan Goenoeng Moelia, yang datang di negeri Belanda pada tahun 1911 untuk memperoleh ijazah guru. Mulai tahun 1915 ia mengikuti kuliah di Fakultas Sastra selama beberapa tahun. Ia kembali ke Indonesia dan kedudukannya dalam birokrasi dan politik menanjak, antara lain ia menjabat sebagai anggota Volksraad. Pada tahun 1929 Pemerintah Hindia Belanda memberi beasiswa kepadanya. Ia tidak mengecewakan mereka; ia belajar pedagogi di Amsterdam, hukum di Leiden, dan mempertahankan tesisnya di Fakultas Sastra Leiden pada tahun 1933. Dua mahasiswa etnologi melengkapi survai ini. Kelompok Cina hanya menghasilkan dua sarjana sastra: Tjan Tjoe Siem dalam sastra Indonesia (tahun 1930) dan abangnya Tjan Tjoe Som dalam sastra Cina (tahun 1936). Yang pertama dan satu-satunya mahasiswa teologi adalah Christoffel Mataheru dari Maluku yang mendaftar pada Oktober 1940.
Lebih baru Lebih lama